Jumat, 12 Desember 2014

Aku mencintaimu

 
MAIN CAST  : Oh Hyun Joo (OC) || Kim JongIn a.k.a Kai
AUTHOR       : Iynun Chan                                                    
GENRE          : Sad Romens
 LENGTH        : OneShot 

 
Summary   :  Aku mencintaimu "Hanya dengan melihat, lidahku menjadi keluh"
 
Desclaimer  : FF ini murni karya saya, titik gak pakek koma. no plagiat no kacang... bila ada yang mencoba-coba plagiat, awas malaikat maut sudah nunggu di sampingmu! (buat apa?) ya buat nyabut nyawa mu, ya kamu (dengan Gaya dodit) . Oops, jangan lupa ninggalin jejak ya readers, karena dari komen2 readers akan membuat saya lebih bisa menyadari pontensi dan kekurangan saya,, hehehe...
ok reades selamat membaca..
 
~~HAPPY READING~~
 
 
Aku, Oh Hyun Joo anak kedua dari tiga bersaudara. Teman-temanku memanggilku Hyun Joo. Umurku 17 tahun, Kelas dua SMA, di salah satu SMA ternama di kotaku, Seoul. Di umur yang terbilang cukup dewasa ini, aku Oh Hyun Joo belum pernah jatuh cinta.
 
Tapi itu semua kini masalaluku, aku telah menemukan cintaku. Aku mengenalnya saat kami mengadakan perjalan pariwisata tahunan sekolah kami, Dia kakak tingkatku, kakak tingkat yang sangat tampan dan seksi. JongIn, Kim JongIn. Nama yang bagus dari namja yang sangat keren. Aku jatuh cinta padanya, pada pandangan pertama.
 
Sejak hari itu, sepulangnya kami dari perjalan pariwisata sekolah. Aku memberanikan diri untuk mulai mendekatinya, mencari tahu tentangnya. Aku juga tidak tahu pasti sejak kapan kami mulai akrab, sering pergi kemana-mana berdua. aku sangat menikmati masa-masa berduaan dengannya. Aku tidak tahu apakah ia juga memiliki rasa yang sama padaku. Karena salama pertemanan ini, kebersamaan ini, dia tidak pernah mengatakan cinta padaku, ataupun menolak ajakanku. Dia membuatku bingung.
 
Tapi aku sadari, aku tidak cukup kuat untuk menanggung sendiri derita mencintainya dengan diam-diam, akhirnya pada suatu kesempatan yang sangat aku tunggu-tunggu. Aku Oh Hyun Joo memberanikan diri untuk mengungkapkan cinta pada, Kim JongIn.
 
“Aku mencintaimu, oppa,” kataku, suatu malam saat kami tengah berjalan di sebuah taman cantik yang di penuhi dengan bunga-bunga indah yang berwarna-warni.
 
Ia menghentikan langkahnya, menatapku lama, sebelum tersenyum dan mengangguk, ia  menerima pernyataan cintaku. Hahaha Kim JongIn oppa menerima cintaku. Aku senang sangat senang. Rasa bahagia itu membuat aku tersenyum sepanjang tidurku.
 
~~~~
“Oppa, hari ini kita nonton film yuk.” ajakku suatu hari.
 
“Maaf, tidak bisa.”
 
“Kenapa? Oppa sibuk ya?”
 
“Aku sudah ada janji dengan teman-emanku.”
 
“Oh..” Lagi, lagi, lagi ia menolak ajakanku. Janji selalu saja ada janji dengan temannya. Kanapa JongIn oppa menjadi seperti ini. Dulu oppa tidak seperti ini, saat kita belum berkencan, JongIn oppa tidak pernah menolak ajakanku. Tapi sekarang, selalu saja ada alasan untuk menolakku. Aku sedikit sakit hati padanya.
 
Pernah suatu hari, ia menolak ajakan kencanku dengan alasan sibuk. Namun, aku menemukannya tengah berjalan bersama seorang yeoja. Dia terlihat tertawa, bahagia. Sangat berbeda ketika bersamaku, dia kelihatan selalu canggung dan salah tingkah. Aku benar-benar sakit dibutnya.
 
Dia tidak pernah mengatakan cinta padaku, mengatakan rindu padaku. Dia juga tidak pernah menghubungiku, aku yang selalu memulainya. Aku tahu, aku yang pertama kali mengungkapkan perasaan cintaku padanya, dan aku tidak tahu apakah dia menerimaku hanya merasa kasihan karena aku selalu mengajaknya, mengejarnya. Atau aku hanya menjadi penghibur saat ia merasa bosan dengan kekasih lainya. Ahhh… Memikirkan semua kemungkinan itu tak urung membuat hatiku nyeri,.
 
****
“Oppa.” aku menatap wajah tampan kekasihku. Melihat wajah tampan ini entah mengapa membuatku nyeri. Oppa mencintaiku? Oppa apa arti aku untuk mu? Suara hati bergemuruh di pikiranku.
 
“Ya.” ia menjawab pertanyaanku, tapi ia tidak menatapku. Ingin rasanya aku menangis. Mengutuknya, memukulnya, karena membuat hatiku sakit.
 
“Aku mencintamu.”
 
Akhirnya ia menatapku, memandangi wajahku lama. Bola matanya yang berbinar aneh itu, senyum yang aneh itu, aku ingin sekali memiliki sepenuhnya.
 
“Aku tahu.” Dia tersenyum, namja yang begitu aku cintai ini hanya tersenyum, dan kembali mengalihkan pandanganya dari wajahku. Ia terlihat serba salah, dan canggung. Hah! Akupun memalingkan wajahku, mataku panas menahan luapan air mata. Apa aku terlihat menjijikan didepanya.
Tic
Tic
Tic 
Diam, hanya kesunyian kosong yang menyelimuti sela obrolan kami yang kaku. “Oppa ada janjinya?”
 
“Apa?” dia terlihat terkejut, dengan pertanyaanku yang tiba-tiba.
 
“Oppa terlihat sedang memikirkan sesuatu? Apa oppa punya janji lain? ku lihat dari tadi oppa merasa canggung duduk bersamaku,” suaraku sedikit bergetar. Janji lain? Ya, mungkin saja. Lalu terbayang kembali dalam ingatanku, sosok yeoja cantik yang bisa membuat JongIn oppa tertawa, tanpa ada kesan canggung atau serba salah.
 
“Ah. Mian, apa aku membuatmu tidak nyaman?” mata indahnya itu menatapku penuh kehangatan. Oppa kenapa kau selalu membuat ku sakit!.
 
“Tidak. Aku rasa aku yang membuat oppa merasa tidak nyaman. Kalau oppa ada janji lain, oppa bisa pergi.”
 
“Ah. Aku rasa juga seperti itu.” namja yang aku cinta ini, tersenyum manis padaku. Tentu saja, dia bahagia. Melihat kenyataan ini, membuat aku ingin berteriak marah padanya. Namun hanya linangan air mata kepedihan ku saja yang bisa mengantar kepergianya, malam itu.
 
 ****
Tanggal 17 september hari ulang tahunku, yang ke 18 tahun. Hari kebahagianku, di rayakan dengan cukup meriah oleh kedua orang tuaku. Aku tertawa malam itu bersama dengan teman-temanku. Tapi aku sakit, hatiku sakit. Karena JongIn oppa tidak datang keacara ulang tahunku,  mengucapkan selamat ulang tahun saja tidak ia lakuakan, bahkan kini dua haripun telah berlalu, tak ada kabar darinya. Hah! Dia benar-benar, tahu bagiamana menyakitiku.
 
Trett— terdengar suara bell pintu berbunnyi.
Aku sedikit berlari membuka pintu. JongIn oppa, aku memekik lirih. Sosok namja  yang menawan dengan senyum manisnya, tengah berdiri menatap ku lembut.
 
“Oppa?”
 
“Annyeong,” ia melambaikan tanganya, manis.
 
Hah! Aku menatapnya marah, setelah hampir dua hari tanpa kabar, kini dengan santainya ia mengatakan hello di depan ku.
 
“Ini untukmu,” ia memberikanku sebuah boneka, sesaat setelah kami duduk di kursi di beranda rumah ku.
 
“Ini apa?”
 
“Boneka?”
 
“Aku tahu, tapi untuk apa?”
 
“Hanya. Hanya ingin memberikannya untukmu,”
 
“Hanya, ingin memberikan?” aku menghela nafas, mencoba menahan gemuruh yang semakin memuncak di hatiku. “Oppa tahu, kemaren hari apa?”
 
“Ahh,” ia sedikit tercekat, menggigit bibirnya, “Mian, aku tidak tahu”
 
“Tidak tahu?!” aku sedikit menekankan suaraku. “Oppa. Apa kau mencintaiku?”
 
“A…aku..”. terdengar suranya sedikit terbata-bata, sepertinya pertanyaanku sangat mengejutkan untuknya. Jelas saja, karena dia tidak pernah mencintaiku.
 
“Hem. Sepertinya kau tidak pernah menyukaikukan…. Oppa?” nada suaraku sedikit sinis. “Kau hanya bermain-main denganku, kan?” Mata Jongin oppa  tampak menatapku tajam, ada sekilas kegetiran terlihat disana.  
 
“Aku tidak mengerti apa masudmu, Hyun Joo.”
 
“Oppa!. Sudahlah jangan bersandiwara lagi di depanku.” Ia masih menatapku. Aku hanya tersenyum hambar,  membiarkan JongIn oppa terus menatapku. Tapi entah mengapa tatap itu, seperti melukaiku. Ekpresi kekecewaan jelas terlihat di matanya.
 
Terdengar tawa samar dari bibirnya. Kulihat kini JongIn oppa tengah menggingit bibir bawahnya, yang tampak tergetar. “Aku tahu kau kecewa,, maaf, karena telah membuatmu kecewa. Mungkin aku bukan namja yang bisa kau andalkan”
 
“Bagus. Kau menyadarinya?” ujarku dingin. Tidak ada lagi kata cinta, ini terlalu menyakitkan.
 
JongIn oppa kini terlihat mulai tersinggung. Ia menatap kedua bola mataku tajam. Membuat nafasku tercekat. Tatapanya begitu kuat, menembus uluh hatiku. Hingga membuatku, menundukan wajah menghindari tatapanya.
 
“Ya. Aku menyadarinya. Aku menyadari bahwa aku melukaimu”
 
“Pembohong” ejekku sinis.
 
“Ya. Mungkin aku memang pembohong. Mungkin memang aku menyakitimu. Tapi ini lah aku sebenarnya. Tapi bukankah kau yang memulainya. Kau yang begitu mencintaiku. Kau yang begitu mengandalkanku. Kini dengan jahatnya kau bersikap dingin padaku. Justru disaat aku ingin lebih terbuka lagi padamu. Atau mungkin kau memang sudah bosan padaku? Seorang namja, yang bukan siapa-siapa… Hyun Joo”.
 
“Oppa. Kenapa kau kini jadi memojokanku? Seharusnya aku yang marah padamu,”
 
“Aku tidak tahu. Aku hanya merasa tercampakkan.” suaranya sedikit meninggi.
 
Aku terhenyak. Lagi-lagi aku tidak bisa marah sepenuhnya pada Namja ini, tidak bisa benci sepenuhnya. Aku marah, aku marah karena aku benar-benar tidak berdaya. Melihat JongIn oppa terluka entah mengapa, membuatku takut.
 
“Oppa,”
 
Tidak ada jawaban. Namja yang ada di sampingku ini, hanya menunduk.
 
“Oppa tahu benar, kalau aku sangat mencintaimu bukan? Aku selalu merindukanmu. Aku ingin selalu bersamamu. Aku ingin bahagia denganmu. Tapi oppa, kau tidak pernah mengatakannya. Kau tidak pernah mengatakan bahwa kau mencintaiku, bahwa kau juga merindukanku, ingin bahagia bersamaku. Aku menunggunya oppa, ah mungkin oppa lupa untuk mengatakannya, ah mungkin bukan malam ini, ah mungkin ini bukan waktunya. Aku terus berpikir seperti itu oppa. Kau tahu betapa menyiksanya itu?”
 
“Kau kecewa?”
 
“Ya aku kecewa. Tapi aku masih bisa menerimanya. Tapi tidak untuk perselingkuhanmu oppa. Aku membencimu, aku ingin memukulmu, aku ingin membunuhmu. Tapi aku tidak bisa oppa, aku tidak mempunyai kekuatan seperti itu. bahkan untuk marah padamu, oppa.. aku tidak sanggup.” aku menatap luluh bola matanya, bola mata namja yang sangat aku cintai ini.
 
JongIn oppa tertunduk, menggigit bibirnya. “Maaf. Maaf aku tidak tahu kalau selama ini, hubungan ini hanya menyakitimu. Maaf aku yang tidak peka akan perasaanmu. Maaf, aku yang tidak memperdulikanmu. Maaf, Hyun Joo.”
 
“Oppa?” aku menatap sosoknya nanar. Pandanganku buram oleh air mata. “Pulanglah, sementara ini kita jangan berhubungan dulu.”
 
“Tapi, Hyun Joo,”
 
“Oppa, sudahlah. Pulanglah,” Aku mengangkat wajahku, menatap wajah tampan seorang namja yang sangat aku cintai ini. lalu aku tersenyum hambar, aku melihat ekpresi rasa bersalah dari raut wajahnya. “Ku mohon pulanglah,” Butiran-bituran air mata jelas semakin deras menuruni lekuk pipiku.
 
JongIn oppa menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian tersenyum. “Baiklah, aku pulang,” Suaranya sedikit bergetar, ia menghela nafas panjang, ia terlihat terluka. Kemudian berlalu dari hadapku. “Bye Hyun Joo.”
 
“Oh..” aku menarik nafas panjang, menatap ke punggung tegap JongIn oppa. Udara terasa hampa. Aku menelan ludah, getir. Ada sesuatu yang menggigit perasaanku, ada sesuatu yang membuat hatiku terluka, lebih dari sebelumnya. Karena, karena dia terlihat terluka.  
 
Ya, Hyun Joo. Sadarlah, dia tidak mungkin terluka karenamu. Suara hati, mencoba memperingatiku. Aku kembali menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya. Boneka itu masih duduk diam dalam pangkuanku. Aku mengamatinya, “Oh Hyun Joo, babo!”. Aku tersenyum getir sebelum masuk dan berguling menangis, terisak di dalam kamarku.
 
 ****
Sudah satu minggu sejak peristiwa malam itu. aku mesih acak-acakan di kamarku, aku mengamati boneka pemberiannya, sebuah boneka panda yang lucu. Yaaaa! Aku mengambil boneka itu dan melemparnya sebarangan. “Apa dia juga memberikan boneka yang sama pada yeoja itu?. hah! JongIn babo!”
 
Bip bip bip
Sebuah pesan masuk, JongIn oppa? Aku sedikit tersentak, benarkah? Tumben.
 
Hyun Joo, aku ingin bertemu denganmu, Aku sekarang ada di depan rumahmu.
 
Untuk apa dia ingin bertemu denganku?
 
Aku masih terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, seiring langkah kakiku yang semakin mendekat padanya. Namun aku sudah membulatkan hatiku, tidak adalagi kata cinta untuknya. Hyun joo, jangan berharap lebih, ok. Suara hatiku semakin keras mengingatkanku. Hah!
 
Kulihat kini, seorang namja tengah menunggu gelisah di depan gerbang rumahku, dan namja itu tampak tersenyum manis menyambut kedatanganku. Senyum yang sebelumnya dapat memabukkanku, tapi maaf saja oppa, Hyun Joo sekarang tidak lagi Hyun Joo yang menggilaimu.
 
“Ah. Hyun Joo. Kau datang? Aku kira kau masih marah padaku.”
 
“Weo?. Kenapa oppa ingin bertemu denganku. Ah! Untuk mengakhiri hubungan ini, tenang saja oppa. Aku sudah mengakhirinya, jadi oppa tidak perlu repot-repot mengunjungiku.”
 
“Hyun Joo. Kata-katamu sangat menyakitkan. Kau tahu?” ia kembali tersenyum manis padaku. “Ini. aku datang untuk memberikan bunga ini padamu?”
 
“Oppa!” aku sedikit meninggikan suaraku.  Apa-apaan namja ini, kenapa ia bisa bertingkah seperti ini. “Aku tidak membutuhkanya?” aku mengambil bunga itu dan melemparnya kejalan. “Aku tidah membutuhkanya, aku tidak menyukai bunga itu. aku juga tidak ingin bertemu denganmu lagi.”
 
“Hyun Joo,” ia memanggil namaku lirih, tersenyum manis. Ia pun bergerak melangkah mengabil bunga itu dari jalan.
 
“Kenapa kau mengambilnya, aku sudah bilang aku tidak butuh itu. Aku membencimu Oppa.” Tapi ia tidak mengindahkan laranganku, ia terus melangkah untuk mengambil bunga mawar putih yang kini terlentang di tengah jalan.
 
Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnn tiiiiiiiiiiiiiiinnnnnn
 
Brakkkkkkkkk— sebuah benturan yang cukup nyaring membuat aku tercekat. Mobil sedan itu berhenti tepat di depan mataku. Pandanganku buram, menatap nanar pada sosok manusia yang terbaring di atas aspal hitam, dengan bersimbah darah. “Oppa!” aku berteriak, berlari menghampirinya.
 
“Oppa,” aku memeluk tubuh itu dalam dekapanku. Menepuk wajahnya, mencoba menyadarkannya. “Oppa, ku mohon bangunlah,”  air mataku ini jelas terlihat mengalir deras dari mataku.
 
“Hyun Joo,” terdengar suara samar dari bibir JongIn oppa.
 
“Ya.” aku menatap matanya, wajah tampanya tertutupi oleh darah yang terus mengalir dari lukanya.
 
“Maafkan aku, aku…”
 
“Oppa, sudahlah. Sebentar lagi ambulan datang,” aku memeluknya semakin erat.
 
“Aku mencintaimu,” suara samar itu, melumpuhkan duniaku.
 
“Ya. Aku tahu. Aku juga mencintaimu,” aku semakin erat memeluk tubuhnya.
 
Tapi, sosok yang ada dalam dekapanku kini, semakin melemas. Tubuhnya semakin mendingin. Aku memeluknya semakin erat, tidak ingin melepasnya. Air mataku kini bercampur dengan darahnya. Satu lengannya terjuntai bebas di samping tubuhnya.
 
“Andweeeeeeeeeeeeeeeeee!”
 
* * * *
 
“Hyun Joo, kau mau mengunjunginya lagi?”
 
“Ya, Eomma. Aku akan mengunjunginya lagi. Aku selalu merindukanya.”
 
“Hyun Joo,” suara Eomma lembut memanggil namaku. “Aku tahu kau sangat mencintainya. Tapi,”
 
“Eomma, aku akan bertanggung jawab atas pilihanku,” aku mencium pipi mulus Eommaku.
 
“Tapi, ini sudah lebih dari dua tahun.” Tatapan sendu Eomma menusuk uluh hatiku. Aku hanya tersenyu, aku tahu kekawatirannya, aku tahu karena Eomma sangat mencintaiku. Tapi ini hidupku, ini pilihanku, dan aku akan bertanggung jawab atas pilihanku sendiri.
 
“Ah. Aku pergi dulu, Eomma.” aku meninggalkan Eomma dengan sejuta kekawatiran tergambar di wajahnya. Mian, Eomma. Karena aku mencintainya.
 
Aku tersenyum di sepanjang perjalananku, udara pagi kota seoul terasa segar memenuhi paru-paruku. Seperti biasanya aku akan mengunjunginya, sebelum berangkat ke kampusku. Aku ingin mengucapkan selamat pagi padanya, aku ingin menciumnya.
 
Masih seperti biasanya. Ia tidak berubah, masih terlalu tenang. Masih bermimpi dalam lelapnya. Menungguku.
 
“Selamat pagi Oppa,” aku menghampirinya, duduk didekatnya, memandangi wajah tampan yang membuat aku tergila-gila dan aku selalu menyukainya.
 
“Hyun Joo,” sebuah suara yang terdengar merdu mengejutkan lamunanku. Aku menoleh keasal suara itu, dan kulihat kini sesok yeoja cantik tengah menatapku lembut.
 
“Unnie. Kau juga datang?” aku tersenyum manis menyambutnya. Sosok yeoja yang cantik itu kini berjalan anggun kearah kami, ia tersenyum memandangiku dan JongIn oppa bergantian.
 
“Kalian terlihat sangat cocok satu sama lain. Andai JongIn bisa melihatnya, dia pasti sangat bangga bisa mencintaimu. Nae Dongsaeng yang beruntung.”
 
“Dia tahu, Unnei. Oppa ku selalu tahu,” aku menggengam tanganya lembut, tanganya yang masih sama, tangan hangat yang selalu menggengamku. Aku mencium tanganya, oppa, kapan kau akan membuka matamu? Oppa betapa aku merindukanmu, aku ingin melihat bola matamu yang lembut senyummu yang manis, oppa kau mendengarkanku kah?
 
“Hyun Joo. Aku tahu kau sangat mencintainya. Terimakasih, terimakasih Hyun Joo. Tapi ini sudah terlalu lama, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Kita tidak akan tahun kapan dia akan bangun dari mimpinya. Kau berhak bahagia, kau tahu itu. kau cantik , kau masih…”.
 
“Unnie,” aku menyela perkataanya. “Aku tidak pernah menyalahkan diriku sendiri. Ini keputusanku. Aku yang membuatnya seperti ini, aku memiliki tanggung jawab padanya. Unnie tahu bukan, aku begitu jahat padanya. Aku yang tidak pernah mempercayainya, yang tidak pernah memahaminya, dengan jahatnya menuduhnya berselingkuh dengan kakaknya sendiri.” aku terisak, aku menatap nanar wajah tampan kekasihku yang masih terlelap dalam mimpinya yang panjang. Mengingat semua kejahatanku yang ku lakukan padanya tak urung membuat dadaku nyeri.
 
“Hyun Joo,” sebuah tangan yang halus menyentuh pundakku. “Aku tahu, maaf telah meragukan kesetianmu. Aku akan keluar. Aku tahu dia mungkin hanya ingin ditemanimu saat ini.” terdengar langkah kaki menjauhi kami, dan pintu berderit tertutup.
 
Kini dalam kamar ini, hanya tinggal kami berdua. 3 jendela 4 dinding dengan 1 pintu adalah kamar yang telah dihuni oleh kekasihku sejak dua tahun yang lalu. Tabung oksigen dan segala peralatan medis yang berguna untuk menunjang kehidupannya kini terpasang hampir di seluruh tubuhnya.
 
Aku kembali meneteskan air mata, mengecup lembut punggung tangannya yang hangat. Seandainya saja aku lebih pengertian, lebih memahaminya. Semua ini tidak akan pernah terjadi. Malam itu, setelah kecelakaan yang mengerikan itu. aku membeku di sudut pintu ruang oprasi. Diam, hanya helaan nafas yang menandakan bahwa aku masih hidup.
 
Seseorang datang padaku, wajah yang cantik dengan senyum yang menawan, memberikanku sebuah buku diary bersampul coklat tua dengan hiasan bulu tipis di ujung sampulnya. Milik Jongin oppa.
 
Air mataku tak berhenti mengalir malam itu. hatiku sakit seperti ribuan lebah menyengat dan membuat sarang disana. Kenangan demi kenangan kembali memutar pecah menjadi ribuan debu. Disana dituliskan semua yang ia rasakan, terhadapku.
 
Bagaimana ia begitu mencintaiku. Bagaimana ia juga memiliki ketertarikan sama padaku sejak pandangan pertama. Bagaimana ia begitu bahagia saat aku menyatakan cinta padanya. Bagaimana sikap canggung dan sereba salahnya, karena ia mencoba untuk tidak membuatku takut karena ia begitu gila ingin selalu bersamaku, memelukku, menciumku. Perasaanya yang begitu besar padaku membuat lidahnya keluh setiap kali ia ingin mengatakan cinta.  Dan bodohnya aku yang tidak pernah mengerti perasaanya. Hanya menuntut dan menuduh yang bukan-bukan. Betapa sakitnya hati kekasihku, yang harus menanggu cintanya padaku.
 
Ada beberapa tulisan tanganya yang mampu menguras air mataku malam itu, tulisan tangan yang begitu indah, mengutarakan isi hatinya padaku.
 
Selasa 19, 9
lupa? Aku tidak mungkin melupakan hari itu, hari yang sepesial untuk ku, hari yang berjasa besar telah menghadirkannya untukku. Aku tidak mungkin lupa.
Aku sudah menyiapakan semuanya, hadiah istimewa untuk kekasihku yang sangat aku cintai. Sebuah koe coklat berbentuk hati, dan sebuah boneka panda yang lucu. Tapi malam itu, ayahku tiba-tiba sakit, jantungnya kambuh lagi, dan kerana terburu-buru ingin membawa ayahku ke rumah sakit, coklat yang sudah aku persiapakan untuknya, hancur entah didudukin oleh siapa. Apa aku kecewa? Ya, karena membanyangkan wajah cemberutnya menunggu kedatanganku. Tapi ini ayahku, maaf.
 Tadi, aku datang kerumahnya. Memberanikan diri, berkali-kali tanganku bergetar saat ingin mengetuk pintu rumahnya, karena aku tahu kau pasti marah. Boneka panda lucu aku peluk di lenganku, aku ingin meminta maaf padanya.
Benar saja, Hyun joo keluar. Aku ingin tersenyum lebar, dan memeluknya,mengatakan rindu padanya, menjelaskan semuanya,  tapi ekpreseinya begitu menakutkan, hingga aku hanya mampu mengatakan Hello padanya, maaf!
 
Jum’at 22, 9
Aku menangis, aku sakit. Hari ini aku melihatnya, tapi dia membuang muka dariku. Aku tahu ia  marah. Kata-katanya malam itupu masih membekas dalam ingatanku. “Kau hanya bermain-main denganku, kan?” ahhhh, itu terdengar sangat menyakitkan! Aku tidak pernah bermain-main denganya, aku tulus mencintai Hyun Joo, aku hanya tidak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata. Aku namja pengecut bukan! Aku benci diriku! Dan tolong jangan membenciku Hyun Joo, aku sangat mencintaimu. Apa yang harus aku lakukan?!!!!!!!!!!!
 
Minggu  24, 9
Hari ini aku berdiri lama didepan rumahnya, menunggu, mungkin aku bisa melihat wajah Hyun Joo. Aku sangat merindukanya, ahhhhhhhhhhh rasa rindu ini tidak bisa aku bendung lagi.
Ok, aku tahu, mungin ini sedikit terlambat untuk menjelaskan semuanya, tapi aku tidak ingin kehilangan dia. Aku tidak tahu, apa aku bisa hidup tanpa dia. Aku akan menjelaskan semuanya, ya… aku kan menemuinya besok, semoga dia tidak marah lagi padaku. Ahhhh aku mecintaimu Hyun Joo, aku merinduimu………
tunggu? Besok apa yang harus aku bawa………
?????????????????????????????????????????
?????????????????????????????????????????
Ahhhh,
Bungga  ^_^ karena Hyun Joo suka bunga.
 
 
Ah, lagi-lagi aku kembali meneteskan air mataku, oh Jongin oppa, aku membelai lembut pipi mulusnya,  mencium bibir seksinya. Aku ingin mengatakan bahwa aku sudah sangat merinduinya, aku tidak lagi marah padanya, aku ingin membangunkannya dengan ciumanku.
 
“Oppa. Apakan disana indah? Apakah lebih indah karena disana tidak ada aku, yang membuat mu tersiksa?. Oppa, aku merindukanmu. Aku merindukanmu,” nafasku tercekat. Menanggung Kerinduan yang teramat besar akan sosok manusia yang kini terbaring tenang didepanku.  
 
“Oppa. Tidak apa-apa, teruslah disana bila kau masih ingin disana. Aku disini akan berusaha untuk menembus semuanya. Aku akan setia menunggu mu, hingga kau percaya dan ingin kembali padaku. Aku akan menunggu. Aku akan menunggu kau kembali mencintaiku,” aku mengusap rambut tebalnya yang hitam, menelusuri keningnya yang tegas, hidungnya yang bangir dan berhenti di bibirnya yang seksi. Aku menunduk, mengecup bibirnya sekali lagi. “Oppa, aku mencintaimu.” Menyandarkan pipiku di dada bidangnya. Memejamkan mata, meremas kerinduan dan penyesalan.
 
Tik
 
Tik
 
Tik
 
Sunyi, hanya dentingan jam, dan merdu suara angin membelai tirai jendela kamar kekasihku, yang sengaja di biarakan terbuka, serta deburan jantungnnya yang terpomba berirama, yang setia menemani pagiku seperti yang lalu-lalu. Hahhhhhhh.. aku kembali membuang nafasku, sesak.
 
“Hyun Joo” sebuah panggilan samar tertanggkap oleh telingaku. Aku mengagkat wajahku, dan kini aku mendapati dua bola mata coklat yang indah dan jernih tampak berbinar menatapku. Benarkah? Ini nyatakan?
 
“Hyun Joo” kembali suara itu terdengar. Ini nyata, ini… oh Oppa!.
 
“Oppa,!” aku memeluknya, aku tidak ingin kehilangan namja ini lagi.
 
“Apa kau ingin membuatku, tak sadarkan diri lagi, Hyun Joo”
 
Ah, aku segera melonggarkan pelukanku, senyum manisnya yang telah hilang selama dua tahun ini kini dengan indah tersaji di depan mataku, hanya untuk ku.
 
“Kau menangis?” ia mengusap pipiku dengan punggung telapak tangannya yang lembut.
 
“Tidak”
 
“Maafkan aku”
 
“Untuk apa?” aku menggenggam tanganya yang hangat, dan menciumnya.
 
“Segalanya. Karena telah menyakitimu”
 
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Oppa. Mari kita lupakan semua yang telah terjadi, aku disini ingin mencintai Kim JongIn dengan apa adanya” aku menatap matanya lembut, ingin menunjukan bahwa aku benar tergila-gila padanya, pada cintanya.
 
“Trimaksih”, katanya, kemudian dengan pelan ia menarik daguku. Akupun menunduk. Bibir kami bertemu, aku membuka mulutku menyambutnya. Sapuan-sapuan lidahnya yang hangat membangkitkan gelora hidupku yang selama ini terpendam. Aku mendaratkan tanganku didadanya, meremas dada bidangnya.  Aku mencintaimu oppa, aku mencintaimu. Aku ingin selalu bersamamamu. Selamanya, selama-lamanya.
 
 
Fin_
See you next time ^

Broken Angels


 
Tittle : Broken Angels
 
Cast : Im Jiyeon, Byun Baekhyun
 
Genre : Angst, Hurt ??
 
Author : Xiu Minhan
 
Note : Ini FF yang muncul secara mendadak XD Please don't be a plagiator!! Thanks for read
 
 
= Happy Reading =
 
 
Jiyeon's POV
 
 
"Jiyeon! Jiyeon!"
 
Aku menoleh dan melihat temanku menaikkan sebelah alis padaku, tidak-menaikkan sebelah alis menggodaku sembari menatap lelaki berambut blonde yang baru saja berjalan menjauh dengan diiringi tatapan gadis dari kelas lain, terkagum karena eksistensinya.
 
 
"Hhh.." Aku mendesah nafas berlebihan, lagi-lagi begitu. Kusikut Yunji, nama temanku yang tadi lalu duduk di sebelahnya, "Sudah kubilang aku tidak menyukainya.." keluhku.
 
 
Yunji tersenyum menggoda, "Benarkah?"
 
 
Aku menarik rambut gadis di depanku dengan sedikit kesal lalu tertawa dan mengangguk.
 
 
"Padahal kalian cocok.." ujar Yunji,
 
 
Aku tersenyum, memang, banyak yang bilang kami berdua cocok. Dia -Byun Baekhyun, dan aku-Im Jiyeon- adalah pasangan serasi. Menurut mereka, tetapi tidak menurutku. Aku menarik nafas menyadari lagi-lagi, aku memikirkan hal ini.
 
 
"Yunji..?"
 
"Ya?"
 
"Bisakah kita berhenti membahasnya?"
 
Yunji lagi-lagi menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa?"
 
"Aku hanya tidak suka, oke?"
 
Gadis itu menghela nafas kecewa, "Yah~ Baiklah!"
 
 
Bel sekolah sudah berdenting beberapa menit yang lalu, aku berdiri di depan gerbang, menunggu ayahku menjemputku. Biasanya beliau selalu terlambat, jadi kumaklumi sajalah meski aku harus sendirian menunggunya.
 
"Yeonnie?"
 
Panggilan familiar itu.. aku menoleh ke belakang, "Hai! Baek!"
 
Baekhyun, pemuda berambut blonde yang acapkali kusebut namanya mendekat, "Kau menunggu jemputan lagi?"
 
Aku terkekeh, "Bisakah kau berhenti menjadi Shinichi Kudo dan berhenti menebakku dengan benar?"
 
Baekhyun tertawa, wajah dan tingkahnya yang ekspresif selalu enak dipandang.
 
"Yeonnie, bagaimana kalau kau menunggu di seberang sana saja?"
 
Baekhyun menunjuk sebuah bangku di bawah pohon sakura yang bermekaran, aku mengiyakan, aku memang cukup lelah hari ini.
 
 
"Kenapa kau tidak pulang sendiri, Yeon?"
 
"Tidak apa-apa.." ucapku begitu kami sudah duduk di bangku, ia meletakkan tasnya diantara kami, aku menundukkan kepalaku.
 
"Jangan berbohong, Yeon.."
 
Aku menggeleng, "Aku tidak berbohong. Aku hanya berpura-pura tidak tahu alasannya, Baek.."
 
"Omong-omong, tadi aku melihatmu dengan Yunji, apa kalian sedang membicarakanku?"
 
Aku diam sejenak sebelum mengangguk, "Hanya sedikit.."
 
"Apa yang kalian bilang? Apa ia memujiku tampan?" tanya Baekhyun dengan percaya diri, sungguh, pemuda itu memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi dimataku.
 
"Hmm.." aku bergumam tidak jelas.
 
Dapat kurasakan pemuda di sampingku menatapku lekat, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain agar ia tidak melihat wajahku, "Kenapa sedih?" tanyanya.
 
Tepat. Dugaannya tepat, dengan cepat, aku memasang senyum lalu berdiri karena mobil jemputanku sudah datang, "Maaf, Baek.. kurasa aku harus pergi dulu."
 
Baekhyun tersenyum kecewa, mengambil tasnya dan ikut berdiri, "Hati-hati di jalan, Yeonnie.."
 
Aku berlalu pergi tanpa membalasnya.
 
 
"Paman Shin?" tanyaku terkejut begitu melihat siapa pengemudi mobil yang menjemputku, padahal, biasanya ayah.
 
"Annyeong, nona.." sapa Paman Shin ramah.
 
"Dimana ayah?" tanyaku cemas. Bukankah ayah berjanji ia akan menjemputku hari ini?
 
"Beliau ada rapat dengan dewan direksi dan memintaku menjemputmu, nona.."
 
Aku menutup mata, ayah, harus berapa kali aku mengingatkanmu agar tidak melanggar janjimu?
 
Pintu mobil terbuka dan aku masuk ke kursi belakang, "Bisakah kita mampir ke makam ibu?"
 
"Ke makam nyonya besar? Sekarang?"
 
"Iya.."
 
 
Makam ibu terletak di atas bukit, jauh dari perkotaan, suasananya asri dan nyaman. Aku berjalan mendekat, Paman Shin menunggu di mobil yang diparkir beberapa meter tidak jauh.
 
 
Gundukan makam itu sudah mulai ditumbuhi rumput liar, aku mencabutinya hingga bersih, meletakkan mawar -bunga kesukaan ibu- yang tadi kubeli ditengah perjalanan.
 
"Bagaimana kabarmu, ibu?" aku mengelus nisannya yang masih bersih.
 
"Bu, aku ingin melihat wajahmu.."
 
"Aku ingin merasakan hangatnya pelukanmu.."
 
"Bu, aku bahkan tidak sempat membahagiakanmu.."
 
"Kenapa kau pergi secepat ini?"
 
Mataku mulai panas, rasanya aneh berbicara pada nisan, tidak ada yang menjawab, tapi setidaknya rasa sakit yang membebani dadaku berkurang sedikit, "Bu, tahu tidak, ayah benar-benar sibuk semenjak ibu meninggal.."
 
Aku memeluk nisan ibu, terisak sebentar, "Bu, aku merindukanmu, bu.."
 
"Nona?"
 
Kudengar suara Paman Shin memanggilku, segera kuusap airmata yang masih basah di pipiku lalu menyahut, "Ya, paman?"
 
"Anda harus pulang sekarang, tuan akan segera datang.."
 
"Baiklah.."
 
Hanya sedetik, aku hanya butuh sedetik sebelum tangisku kembali pecah, kupeluk nisan ibu erat-erat lalu mengucapkan kata sayangku yang tidak pernah didengarnya selama ia masih bernafas. Aku selalu menyesal tidak dari dulu mengucapkannya.
 
 
Di dalam mobil, aku mengutak-atik ponselku, menekan-nekan sebuah nomor yang sudah kuhafal mati.
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Baek ~ ^^
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Ya?
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Kau sedang apa?
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Memainkan piano ^^
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Kalau kau memainkan piano, bagaimana kau bisa mengirimiku pesan?
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Aku memainkan piano di hatiku sementara tanganku mengetik pesan untukmu.
 
 
Aku tertawa kecil menatap balasannya, mobil berbelok dan memasuki perumahan yang dipenuhi rumah-rumah besar dan megah. Aku menyurukkan ponselku ke dalam saku begitu melihat rumahku sudah dekat. Rumah itu besar, tetapi sepi. Paman Shin membukakan pintu mobil untukku segera setelah kami berhenti, padahal ia tahu, aku bisa membuka pintu mobil sendiri, "Terima kasih.." ucapku.
 
 
Tasku kuhempaskan begitu saja diatas sofa, tepat di sebelah ayah yang sedang membaca koran. Ayah mengalihkan konsentrasinya dan menatapku, "Jiyeon.."
 
"Ayah bilang ada pertemuan.."
 
"Memang. Pertemuannya baru saja selesai.."
 
"Tapi aku bahkan tidak lama mengunjungi makam ibu, secepat itukah? Harusnya kau menjemputku.."
 
"Jiyeon. Dengar, ayah tahu ayah sudah berjanji, tapi-"
 
Aku menghentakkan kakiku dengan marah, "Berhentilah mengucapkan kata TAPI!!"
 
Amarahku rupanya tidak semudah itu mereda karena aku segera berlari ke kamarku dan membanting pintu kamarku keras-keras, begitu memastikan pintunya sudah terkunci, aku bersandar, terduduk, lalu menangis.
 
 
Malamnya, aku tidak turun untuk makan, tidak turun untuk minum, atau untuk apapun, pintu kamarku terkunci sejak aku pulang sekolah, aku benar-benar lapar, tapi rasa marahku dengan sigap selalu menguasaiku.
 
 
Ponselku bergetar , aku segera mengambilnya, begitu aku membungkuk, kurasakan perutku begitu sakit, "Sialan!" umpatku. Aku terkena maagh karena belum makan sejak tadi pagi.
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Kau sudah makan? Makanlah sebelum kau sakit.
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Ya.
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Kenapa kau tidak makan?
 
 
Aku menyandarkan bahuku di dinding, pemuda satu itu memang selalu menebakku dengan benar.
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Kenapa kau selalu bisa menebakku dengan benar?
 
 
From: Byun Baekhyun
 
Aku sudah mengenalmu setahun lebih, ingat?
 
 
Pesan Baekhyun mengingatkanku, benarkah aku sudah mengenalnya selama itu?
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Maaf , Baek! Aku tidak ingat ^^
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Sungguh? Pelupa sekali!! ^^
 
 
Bertukar pesan dengannya membuatku merasa sedikit lebih tenang meski aku masih marah pada ayahku.
 
 
To : Byun Baekhyun
 
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Omong-omong. Ayo keluar bersamaku.
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Kapan?
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Sekarang^^
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Semalam ini?
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Jangan menolak karena aku sudah berada di depan rumahmu.
 
 
Mataku terbelalak, aku segera bangkit dari dudukku, ough, perutku sakit sekali. Bahkan mendekat ke jendela saja rasanya perih. Begitu kaca jendela kubuka, Baekhyun melambaikan tangannya, "Hei!! Turunlah!!"
 
 
Kami makan di sebuah restoran tidak jauh dari rumahku, ayahku tidak ada di rumah jadi kemungkinan besar ia tidak akan tahu, aku memesan sebuah bibimbap dan memakannya dengan lahap sementara Baekhyun -lagi-lagi- menatapku. Aku mendongak, ketika mata kami bertatapan, hanya sedetik, aku mengalihkan pandanganku, bukannya aku membencinya, hanya saja ada sesuatu di mata Baekhyun yang membuatku merasa aneh.
 
 
"Kenapa menatapku?" tanyaku sembari meneruskan makan,
 
"Tidak apa-apa.."
 
"Kenapa kau tadi tiba-tiba berada di rumahku?"
 
"Hanya mendapat firasat kau tidak makan dengan baik.."
 
Aku tersedak, Baekhyun menyodorkanku minumnya, "Makan pelan-pelan.."
 
"Jangan seperti ini, Baek, kumohon.."
 
"Wae?"
 
"Tidakkah kau risih banyak yang menganggap kita memiliki hubungan spesial?"
 
Ketika kutatap sejenak dirinya, dapat kulihat matanya merenung, sendu dan sedih. Mendadak, aku merasa bersalah, "Maaf.."
 
Tidak lama kemudian, Baekhyun kembali tersenyum dan ceria, "Lalu kenapa? Masa bodoh dengan mereka.."
 
Aku tersenyum, "Ya, tapi bagiku itu masalah, Baek."
 
"Kenapa?"
 
"Karena aku .."
 
Kata-kataku terputus begitu menyadari apa yang hendak kukatakan. Karena aku tidak pernah menyukaimu.
 
"Karena kau apa?"
 
Aku menggelengkan kepalaku, "Tidak. Lupakan saja."
 
 
Baekhyun mengantarku pulang ketika aku sudah menghabiskan bibimbapku, ia membayariku meski aku menolak.
 
"Yeonnie?"
 
Aku diam dan tetap melangkah menuju rumahku, mengabaikannya, kalau boleh jujur, aku benci ia memanggilku seperti itu, rasanya kekanak-kanakan,
 
"Yeonnie?"
 
Masih tetap diam dan melangkah.
 
"Yeonnie?"
 
"Yeonnie?"
 
"Yeonnie?"
 
"Im Jiyeon?"
 
"Im Jiyeon?"
 
"Im Jiyeon?"
 
Aku berhenti, "Tidak bisakah kau diam, Baek?"
 
"Aku hanya hendak mengatakan sesuatu, Yeon.."
 
"Apa?"
 
"Apakah kau menyukaiku?"
 
Aku menarik nafas sebelum mengutarakan jawabanku dengan tegas. Tidak.
 
Baekhyun terlihat sangat kecewa, tapi ia tetap tersenyum. Ia tersenyum. Kecuali matanya. Matanya tidak ikut tersenyum, "Baguslah setidaknya sekarang aku sudah tahu, Yeon! Aku akan pulang dari sini. Bisakah kau berhati-hati?"
 
Aku menunjuk rumahku yang tinggal beberapa langkah lagi dengan dagu, "Bagaimana menurutmu?"
 
"Baguslah. Aku pergi dulu."
 
 
Semenjak kejadian itu. Tidak ada telepon atau pesan darinya selama tiga hari. Aku tidak berniat mengiriminya pesan terlebih dahulu. Tidak. Tapi ada rasa kosong dan sepi yang menyayat hatiku. Begitu dalam bahkan lebih dari ketika aku merindukan ibuku. Malam-malam berikutnya kuhabiskan dengan menghindari ayahku dan berdiam diri dibalik selimutku.
 
 
"Jiyeon?"
 
Yunji menepuk pundakku, aku menggeleng-gelengkan kepalaku yang sejak pelajaran ketiga tadi terkantuk-kantuk, "Ya?"
 
"Ikut aku sebentar.."
 
Ia menarikku bangkit sementara aku mengikutinya dengan malas, "Kemana? Ke Toilet?"
 
"Tidak.."
 
Kami berdua menuju ruang musik. Ruangan itu dipadati oleh siswa siswi dari kelas lain maupun kelasnya, Jiyeon menaikkan sebelah alishnya penasaran, Ada apa?
 
 
Setelah berusaha keras menembus kerumunan, ia akhirnya dapat melihat siapa yang menyebabkan kehebohan ini. Byun Baekhyun.
 
 
Jiyeon's POV End
 
 
I often close my eyes
 
And I can see you smile
 
You reach out for my hand
 
And I'm woken from my dream
 
Although your heart is mine
 
It's hollow inside
 
I never had your love
 
And I never will
 
 
And every night
 
I lie awake
 
Thinking maybe you love me
 
Like I've always loved you
 
But how can you love me
 
Like I loved you when
 
You can't even look me straight in my eyes
 
I've never felt this way
 
To be so in love
 
To have someone there
 
Yet feel so alone
 
Aren't you supposed to be
 
The one to wipe my tears
 
The on to say that you would never leave
 
The waters calm and still
 
My reflection is there
 
I see you holding me
 
But then you disappear
 
All that is left of you
 
Is a memory
 
On that only, exists in my dreams
 
 
I don't know what hurts you
 
But I can feel it too
 
And it just hurts so much
 
To know that I can't do a thing
 
And deep down in my heart
 
Somehow I just know
 
That no matter what
 
I'll always love you
 
So why am I still here in the rain
 
 
Pemuda itu menyanyi sekaligus bermain piano dengan tatapan sendu. Jiyeon terdiam, terdengar suara gemericik hujan di luar. Gadis itu menghentakkan kakinya lalu berlari pergi diiringi dengan tatapan Baekhyun. Mata pemuda itu terlihat sangat menyedihkan.
 
 
"Jiyeon.."
 
Yunji mendekati Jiyeon yang menangis di ujung tangga sejak ia berlari dari ruang musik.
 
"Yunji.."
 
Jiyeon terisak sementara Yunji menepuk-nepuk pundaknya, "Sabarlah.."
 
"Kenapa ketika Baekhyun menyanyi, rasanya begitu sakit? Kubilang aku tidak menyukainya, lalu kenapa aku menghafal nomornya? Kenapa aku merasa tenang setelah mengiriminya pesan. Bahkan ketika kami tidak berkomunikasi, aku seperti kehilangan tenagaku?"
 
"Ssh.." Yunji kembali menepuk-nepuk pundak Jiyeon,
 
Diluar dugaan, isakan Jiyeon justru semakin menjadi, "Kenapa rasanya begitu sakit?"
 
"Ssh.." Yunji kali ini memeluk Jiyeon hingga ia tenang. Dari kejauhan, Baekhyun menatap Jiyeon dengan sedih.
 
 
Jiyeon meletakkan tasnya di sofa lalu menghempaskan dirinya, ia tidak memiliki tenaga untuk ke kamarnya.
 
"Jiyeon.."
 
Suara berat memanggilnya, ia membuka matanya yang ia pejamkan, "Ayah?"
 
"Kau sakit?"
 
Jiyeon menggeleng, "Tidak.."
 
"Mau ikut ayah?"
 
"Kemana?"
 
"Makan malam bersama kolega ayah.."
 
"Kenapa?"
 
Tidak biasanya ayahnya mengajaknya makan malam bersama koleganya.
 
"Ayah ingin mengajakmu bertemu dengan seseorang.."
 
"Aku sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun.."
 
"Ayolah, Jiyeon.."
 
Dengan malas, Jiyeon bangkit, "Baiklah.."
 
 
Mereka pergi ke sebuah restoran mewah. Restoran itu membuat Jiyeon terdiam. Restoran yang pernah ia kunjungi bersama Byun Baekhyun.
 
 
Memasuki restoran, keduanya berjalan menuju tempat yang telah dipesan ayahnya. "Memang kita mau bertemu dengan siapa?"
 
"Calon ibumu.."
 
Jiyeon terdiam. Apa ia salah dengar?
 
"Siapa?"
 
"Sebentar lagi kau juga akan tahu."
 
Entah kenapa mendadak firasat Jiyeon memburuk.
 
"Ah, itu dia!" Ayahnya berdiri sembari menunjuk seorang wanita dengan gaun abu-abu, dibelakang wanita itu menyusullah seorang pemuda. Mata Jiyeon seketika membelalak menatap pemuda di belakang wanita tadi. Byun Baekhyun. Pemuda itu mengenakan jas putih, celana putih, semuanya serba putih. Tapi tidak ada senyum melekat di wajahnya. Yang ada hanya tatapan datar -dan pucat. Apakah ia sakit?
 
 
"Im Joo Hwan.." ujar wanita tadi begitu ia dan ayahnya bertemu, Jiyeon tidak terlalu memperhatikan karena ia memandangi Baekhyun yang menunduk dengan tatapan sendu, ia mengkhawatirkan Baekhyun yang pucat pasi, "Baekhyun.." mata Baekhyun dan mata Jiyeon bertemu. Baekhyun terkejut sementara Jiyeon tersenyum trenyuh. Hatinya begitu sakit.
 
 
Keempatnya duduk dengan situasi canggung.
 
"Baekhyun.." ibu Baekhyun memulai pembicaraan.
 
"Ya, Ibu?"
 
"Kau sudah tahu tidak alasan ibu mengajakmu kesini?"
 
"Tidak." jawab Baekhyun datar sembari berkonsentrasi makan.
 
"Pria ini adalah Im Joo Hwan, calon ayah barumu.."
 
Garpu Baekhyun berdenting karena ia letakkan begitu saja, ia mendongak dan menatap Jiyeon. Apakah.. Jiyeon akan menjadi saudaranya? Jiyeon menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Suara kursi berderit membuat ibu Baekhyun menciut, anak lelakinya bangkit dengan kasar lalu berjalan cepat keluar dari restoran.
 
"Baekhyun!"
 
"Biar aku saja, bibi.." Jiyeon menawarkan diri lalu bangkit dan mengejar Baekhyun.
 
 
Dimana ia harus mencari Baekhyun? Jiyeon menoleh ke kanan dan ke kiri, ia tidak tahu kemana ia harus pergi hingga..
 
 
BRAKK!!
 
 
Terdengar suara besi beradu dengan tulang dan seorang wanita berteriak memekakkan telinganya. Jiyeon menoleh, sangat terkejut dengan apa yang dipandangnya. Lututnya gemetar, ibu Baekhyun dan ayahnya beserta beberapa pengunjung restoran keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ibu Baekhyun lemas dengan apa yang ia lihat. Byun Baekhyun. Terbujur kaku. Dengan darah membasahi baju putihnya. Malaikat Jiyeon. Jiyeon meneteskan air matanya. Malaikatnya terluka.
 
 
Paramedis datang tidak lama kemudian, ayah Jiyeon menyetir, membawa ibu Baekhyun ke rumah sakit sementara Jiyeon menemani Baekhyun.
 
 
"Jangan pergi. Kumohon, Baek. Kau harus bertahan." pinta Jiyeon.
 
Mata Baekhyun perlahan terbuka, sebuah senyum terukir di wajahnya, "Rasanya sakit sekali.."
 
Jiyeon menatap pelipisnya yang berdarah serta beberapa bagian tubuhnya memar, mungkin saja tulang rusuknya patah, "Baek, bertahanlah.."
 
Baekhyun mengeluh kesakitan, tanagan Jiyeon menggenggam erat tangannya, "Bisakah kau menjwabku ketika aku memanggilmu?" tanya Baekhyun.
 
Jiyeon mengangguk panik, "Iya, Baek. Mau berapa kalipun kau memanggilku, aku akan menjawabmu berkali-kali juga."
 
"Jiyeon?"
 
"Ya?""Jiyeon?"
 
"Ya?"
 
"Jiyeon?"
 
"Ya?"
 
"Jiyeon?"
 
"Ya?"
 
"Aku.. mencintaimu.." ucap BAekhyun terpatah-patah,
 
"Baek.."
 
"Tolonglah.. jaga ibuku.."
 
"Baek.."
 
Jiyeon memanggil-manggil nama Baek dengan suara hancur, tidak hanya suaranya, hatinya sepenuhnya hancur. Malaikatnya terluka.
 
 
Malam itu. Pukul 20.43, Byun Baekhyun menghembuskan nafas terakhirnya. Pada hari itu juga, Im Jiyeon kehilangan hartanya yang paling berharga. Malaikatnya yang paling berharga.
 
 
<DRAFT>
 
 
To : Yeonnie
 
Aku mencintaimu.
 
 
To : Yeonnie
 
Tell me the story of how the sun loved the moon so much, he died every night to let her breathe. Coba ceritakan padaku kisah tentang Matahari yang sangat mencintai Bulan, ia mematikan sinarnya tiap malam agar Bulan bisa bersinar.
 
 
To : Yeonnie
 
..and every night..
 
I lie awake, thinking maybe you loved me like i was always loved you..
 
But how can you love me like i was always loved you when you can't even look me straight in my eyes?
 
Dan tiap malam.. Aku terbaring, memikirkan apa kau mencintaiku seperti aku selalu mencintaimu.
 
Tapi bagaimana bisa kau mencintaiku seperti aku mencintaimu ketika kau bahkan tidak bisa melihatku langsung dimataku?
 
 
<INBOX>
 
 
From : Yeonnie
 
Aku tahu pesan ini tidak akan pernah kau balas. Tentu saja. Karena kita berada di dua alam yang berbeda. Aku menjaga ibumu, menyayanginya seperti ibuku sendiri. Dan.. aku mencintaimu.
 
 
.
 
 
END

Kamis, 11 Desember 2014

Maybe It Sounds Crazy


Cast:• Kim Jongin• Lee Hye Jin• And othersGenre: School life and othersLenght: Oneshoot
______Happy Reading!! _______

Tidak!!! Aku menyukainya, namun sikap dan hatiku berlawanan arah. Jika dia mendekatiku, aku akan menampakkan wajah tak suka, meski jauh dalam lubuk hati aku berteriak senang. Aku akan kesal seketika saat dia mengajakku berbicara walau sebenarnya aku sangat ingin membalas perkataannya. Aku akan berusaha keras memberontak saat dia menggangguku dengan tingkah menjengkelkan walau dalam hati aku berkata aku suka caranya menggangguku. Apa mungkin ini karena orang yang kusukai jauh dari idamanku? Jauh dari kriteriaku?Dia adalah Kim Jongin. Orang yang memenuhi pikiranku. Seseorang yang berpredikat sebagai preman sekolah. Seseorang yang memiliki banyak sekali catatan merah dalam buku rapor dan buku pelanggaran di ruang BP. Seseorang yang tidak pernah masuk dalam jajaran kriteria pria idamanku. Namun ditengah predikat buruknya itu, dia adalah sosok yang memukau –well, menurut sebagian orang, terutama gadis. Wajahnya tampan, very good looking, memiliki senyum menawan dan... keren. Jadi tak heran jika banyak sekali gadis yang menginginkannya meskipun perilakunya sangat menyebalkan. Tak heran jika saat istirahat tiba banyak gadis yang mengikuti kemana ia pergi. Tak heran jika dia masuk dalam jajaran namja paling diincar. TAPI TETAP SAJA DIA SEORANG PREMAN SEKOLAH!!Mungkin ini terdengar gila karena aku juga menyukainya. Lalu apa masalahnya? Dia menyukaiku dan aku menyukainya. Masalah beres dan aku bisa menjalin sebuah hubungan asmara dengannya. Tapi kenapa aku tak menerimanya dan malah bersikap seolah aku membencinya? Jawabannya hanya satu, DIA PREMAN SEKOLAH!!! Membayangkan bahwa diriku akan berpacaran dengan preman sekolah membuatku ingin membuang jauh perasaan ini. Aku tidak mau berpacaran dengan seorang preman sekolah. Sampai kapanpun aku tidak mau!__________ .--------------- .Tidak ada sebuah kisah yang tidak berawal. Yah, anggap saja seperti itu. Cerita bagaimana dia bisa menyukaiku, aku tahu dengan sangat jelas. Dan kalau aku bisa mengulangnya lagi, aku tidak mau melakukannya. Aku tidak mau memberinya sebuah plester untuk menutupi lukanya. Aku menyesal.Saat itu adalah saat dimana aku sedang menikmati ramenku di salah satu supermarket langgananku. Dan entah darimana, dia muncul dan duduk tepat di samping tempatku duduk. Mulanya aku tak menggubrisnya. Aku hanya meliriknya sekilas, lalu melanjutkan makan ramen.“Hey, kau!” dia bersuara.Aku segera menelan ramen yang kukunyah dan menoleh ke arahnya. Kulihat sudut bibirnya berdarah. Tapi karena aku tahu kalau dia preman sekolah, aku hanya diam saja. Tak mau terlibat apapun. Kalau saja dia bukan preman sekolah yang suka menindas teman-temanku yang lemah, aku akan bertanya ‘apakah kau baik-baik saja?’ dan mungkin juga aku akan langsung memberikannya plester yang kebetulan ada di saku mantelku.“Kau satu sekolah denganku, kan?”Glek! Aku menelan ludahku. Perasaanku mulai tak enak. Selama ini hidupku baik-baik saja, dan aku tak mau terlibat dengan preman sekolah. Tapi kenapa dia menanyakan hal itu padaku? Mau tidak mau aku menjawab pertanyaannya dengan satu anggukan.“Lalu kenapa kau tidak menyapaku?” tanyanya lagi dengan alis bertaut.“Mianhe...” jawabku lagi. Sungguh! Selera makanku tiba-tiba hilang seketika. Kupandangi ramenku yang sudah tinggal separuh. Kenapa aku harus bertemu dengannya di sini? Ah, sepertinya aku akan terkena masalah. Aku benar-benar takut padanya. Takut dia akan memperbudakku seperti teman-temanku yang lain.“Kalau kau satu sekolah denganku, harusnya kau menyapaku. Siapa namamu?”Aku tak berani melirik ke arahnya. Terlalu takut. Untuk bergerakpun sepertinya aku memerlukan kekuatan lebih. Dengan sedikit gemetar, aku mengucapkan namaku, “Lee Hye Jin.”“Ah, jadi namamu Lee Hye Jin. Kurasa kita belum saling mengenal. Kalau begitu perkenalkan, aku Kim Jong In.”Aku menghembuskan napas mendengar kalimat yang terucap dari bibirnya. Ya Tuhan, siapa yang tidak mengenalnya di sekolah? Aku sudah tahu namanya, bahkan sebelum dia menyebutkan namanya padaku barusan. Dia terkenal –yeah, sebagai preman.“Lee Hye Jin, boleh aku mengajukan satu permintaan padamu?”“A-a-apa?” tanyaku takut-takut. Aku semakin memperdalam pandanganku ke bawah meja. Aku benar-benar merasa takut sekarang.“Aku lapar. Bisakah kau memberikanku ramenmu? Kulihat kau sudah tak tertarik untuk memakannya lagi,” ucapnya tak bersalah. Jelas saja aku tak tertarik untuk memakannya lagi. Selera makanku sudah hilang karenamu, Kim Jong In.“Ambil saja,” jawabku, masih takut-takut dan tak berani memandangnya. Namun aku bisa melihat dengan jelas tangannya yang meraih ramenku di atas meja.Keadaan berubah menjadi hening setelah Jongin mengambil ramenku. Apa mungkin dia benar-benar lapar? Karena penasaran, kuberanikan diri melirik sekilas ke arahnya lalu kembali pada posisiku semula. Dan BINGO!! Dia benar-benar lapar. Buktinya saat aku melirik ke arahnya dia sudah menghabiskan ramenku.“Ah, aku kenyang. Gomawo, Lee Hye Jin-sshi,” katanya padaku. Tentu saja kenyang, bukankah lapar terasa saat tak ada makanan yang masuk ke dalam perut? Dan Jong In sudah berhasil mengangkut ramenku ke dalam perutnya.Lagi-lagi aku hanya merespon dengan satu anggukan. Sebenarnya agak aneh mendengarnya berterima kasih. Ternyata preman sekolah seperti dia masih bisa mengucapkannya.“Hye Jin-sshi. Aku berhutang padamu. Sepertinya aku harus membalas kebaikanmu lain kali.”Ucapannya membuatku tergelak. Apa maksudnya dengan ‘membalas’? Apa jangan-jangan dia akan membuatku menjadi mainannya di sekolah nanti? Akan lebih baik jika dia juga membalasku dengan memberikan ramen sisa, tapi bagaimana jika dia memberiku gangguan-gangguan seperti menaruh sampah di lokerku karena tidak memberinya ramen baru dan malah memberinya ramen sisa? Ya Tuhan! Jangan sampai itu terjadi. Aku tak mau menjadi bulan-bulanan seorang Kim Jong In.“Apa boleh aku mengajukan satu permintaan lagi padamu?”Glek! Apa lagi yang akan dimintanya? Sepertinya aku harus segera pergi dari sini.“Aku terluka karena–““Ini plester untukmu. Dan sepertinya aku harus pergi, annyeong,” setelah mengatakan hal itu dan menaruh sebuah plester tepat di hadapannya, dengan langkah cepat aku pergi. Aku sengaja memotong ucapannya. Dan kukira dia akan memintaku untuk mengobatinya karena memberitahuku tentang lukanya sendiri. Bukankah itu hal yang sangat perlu untuk dihindari?-------------- .____________ .Nothing is impossible. Buktinya, hal yang selalu saja kucoba untuk kuhindari malah terjadi. Ya, berurusan dengan preman sekolah merupakan salah satu hal yang kuhindari. Kenapa? Tentu saja untuk kesejahteraan hidupku, khususnya di sekolah. Untuk apa lagi?Tapi karena kejadian ramen sisa di supermarket waktu itu, aku yang semula hidup baik-baik saja di sekolah menjadi terusik. Terusik dengan kehadiran seorang Kim Jong In. Entah kenapa tiba-tiba saja dia selalu ada di semua tempat yang kusinggahi. Di kantin, di perpustakaan, bahkan di kelasku saat jam istirahat. Bukankah itu aneh plus menjengkelkan? Dia bahkan selalu saja menggangguku. Pernah suatu kali dia menaruh lem di atas kursiku. Alhasil, aku harus mengganti rok seragamku dengan celana olahraga. Lebih menjengkelkan lagi saat dia menaruh seekor cicak –hewan yang paling kubenci– di atas mejaku yang langsung membuatku berteriak histeris. Atau dia akan sengaja menjulurkan kakinya saat aku berjalan sehingga aku terjatuh. Dan dia dengan ekspresi tidak bersalahnya itu malah tertawa geli. Ya Tuhan, bisakah kau tidak menghadirkan seorang Kim Jong In dalam hidupku? Aku benar-benar frustasi. Apalagi mengingat aku tak bisa melakukan apa-apa untuk membalas perbuatannya. Bukannya tak ingin membalas perbuatannya, aku malah sangat sangat ingin membalasnya. Sungguh! Tapi mendengar penuturan teman-temanku tentang perbuatan Jong In yang bahkan akan menjadi lebih parah jika kau mencoba untuk membalasnya malah menciutkan nyaliku. Jadi yang bisa kulakukan hanyalah diam, tanpa membalas apa-apa.Tidak usah terkejut lagi saat aku mendapatinya tengah berdiri di ambang pintu kelasku seperti saat ini, tepat setelah bel istirahat berbunyi. Kali ini apa yang akan dilakukannya padaku? Entahlah, semoga bukan hal yang buruk. Tapi mana mungkin? Segala hal yang dilakukannya padaku adalah hal buruk. Benar-benar buruk.Aku sengaja tak menggubris kehadirannya saat melewati pintu kelas. Berjalan mengikuti langkah teman-temanku seolah dia tak ada. Tapi aku malah dikejutkan dengan sebuah tangan yang tiba-tiba mampir di pundakku sesaat setelah aku berhasil melewati batas pintu kelas. YA TUHAN, KIM JONG IN MERANGKULKU DARI BELAKANG!!! Apa yang akan dilakukannya kali ini?“Hye Jin-sshi, bukankah sudah kubilang untuk menyapaku saat kita bertemu? Kenapa kau berjalan seolah aku tak ada?” ucapnya disela-sela perjalanan kami berdua. Dan sialnya dia malah mempererat rangkulannya saat aku mencoba melepaskan diri.“Ehm, itu... mianhe,” jawabku. Tak ada yang bisa diucapkan kecuali kata maaf. Gila kalau aku mengatakan aku tak ingin berurusan dengannya.“Inilah yang sangat kusayangkan darimu. Kenapa kau selalu minta maaf padaku? Ah, sudahlah! Menyuruhmu untuk menyapaku sama saja memintamu untuk menjadi pacarku.”Aku membulatkan mataku. Apa katanya barusan? Menyuruhku untuk menyapanya sama saja memintaku untuk menjadi pacarnya? Perumpamaan macam apa itu? Lagipula siapa yang akan berpacaran dengannya?“Oh ya, apa kau masih mengingat hutangku?”Hutang? Kapan dia berhutang padaku? Bukankah aku tak pernah meminjaminya uang? Dengan pelan aku menggelengkan kepalaku sebagai ganti jawaban. Berada di dekatnya membuat mulutku seolah terkunci. Oh, suaraku yang malang!“Tapi aku mengingatnya dan kurasa aku harus membayarnya sekarang. Kalau begitu ikut aku!” dia menyeretku dengan masih merangkul pundakku. Dia akan membawaku kemana? Sebenarnya hutang apa yang dibicarakannya? Kumohon selamatkan aku....------------- ._________ .Kim Jong In benar-benar tak terduga. Setelah apa yang dilakukannya untuk menggangguku, dia malah mentraktirku makan ramen di kantin sekolah. Dengan sedikit ragu kupandangi ramen yang telah tersaji di atas meja. Kulirik Jong In yang duduk di hadapanku dengan ekor mata. Aku terkejut, karena ternyata dia tengah memandang ke arahku. Bagaimana ini?“Makanlah! Itu adalah balas budiku karena saat itu aku menghabiskan ramenmu.”Aku membulatkan mataku. Jadi ramen sisa itu yang dimaksudnya dengan HUTANG?! Ya Tuhan, apa otak Jong In masih berfungsi dengan baik? Itu ramen sisa! Ingat, R-A-M-E-N S-I-S-A!!! Apa pantas disebut hutang?“Tidak usah melihatku seperti itu, aku tahu aku tampan.”Seketika itu juga aku langsung membuka sumpitku dan mulai memakan ramen pemberiannya. Apa aku sedang terlihat seperti mengagumi wajahnya? Dia gila! Di saat-saat seperti ini dia malah menarsiskan diri.“Jong In-ah!!”sebuah suara memecah suasana tak enak yang terjadi antara aku dan Jong In. Kudongakkan kepalaku untuk mengetahui siapa yang telah mengalihkan perhatian Jong In. Ternyata Chanyeol, yang kutahu adalah sahabat dekat si Jong In ini dan dia juga terkenal dengan keusilannya. Aku hanya bisa menghela napas saat melihat namja jangkung itu mendekat ke arah kami –aku dan Jong In. Dan dengan santainya menepuk pundak Jong In kemudian duduk di sebelahnya.“Untuk apa kau ke sini?” tanya Jong In pada Chanyeol dengan wajah yang sedikit kusut. Seakan tak suka dengan kedatangan sahabatnya sendiri. Ada apa dengannya?“Kenapa wajahmu kusut begitu? Kau tidak suka dengan kedatanganku?” tanya Chanyeol dengan senyum tertahan. Aku tak mengerti. Kenapa mereka berdua terlihat seperti itu? Sebenarnya ada apa?“Kalau sudah tahu kenapa masih ke sini?!”Aku melanjutkan makanku yang sempat tertunda. Mencoba mengalihkan perhatian dari dua makhluk yang sepertinya sedang berselisih di hadapanku. Biar bagaimanapun urusan mereka bukanlah urusanku. Jadi aku tak berhak tahu.“Hey! Come on Jong In-ah! Aku hanya ingin tahu siapa gadis itu. Jadi gadis ini?”Aku sedikit tertegun tanpa mendongakkan kepalaku mendengar penuturan Chanyeol barusan. Apa maksudnya? Gadis ini? Apakah aku sedang dibicarakan di sini? Dan suasana sedikit hening. Kudengar juga Jong In mengerang tertahan. Ada apa dengannya?“Kau! Namamu Lee Hye Jin, kan?”Kurasa aku benar-benar terlibat sekarang. Chanyeol benar-benar memanggilku. Akupun mendongakkan kepalaku dan mendapati wajah Chanyeol yang tersenyum padaku. Segera kuanggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaannya.“Apa kau tahu? Jong In masih menyimpan plester pemberianmu.”Aku membulatkan mataku memandangnya. Benarkah? Untuk apa Jong In menyimpannya? Bukankah seharusnya plester itu digunakan untuk menutupi lukanya? Kulirik Jong In yang duduk tepat di sebelah Chanyeol. Wajahnya jelas-jelas mengisyaratkan ketidaksukaan ke arah Chanyeol.“Hentikan Chanyeol!” ucapnya dengan wajah kesalnya itu.“Oh ya. Selama ini dia tidak pernah mengganggu anak perempuan. Tapi sekarang dia melakukannya padamu. Apa kau tahu artinya? Dia menyukaimu, Hye Jin-sshi. Dia juga –”“Kubilang hentikan, Chanyeol!” Jong In tiba-tiba saja menarik Chanyeol dari duduknya dan membawa namja jangkung itu menjauh dari hadapanku. Kupandangi kepergian mereka berdua dengan Jong In yang merangkul bahu Chanyeol paksa sementara Chanyeol mau saja diperlakukan seperti itu.Aku terkejut dengan penuturan Chanyeol. Sepertinya nafsu makanku benar-benar hilang. Jong In menyukaiku? Benarkah? Atau benarkah hanya aku satu-satunya anak perempuan yang pernah diganggu olehnya? What the hell!! Apa ini semua masuk akal?!Karena terlalu sibuk dengan praduga yang aku sendiri ragu akan kebenarannya, kuputuskan untuk meninggalkan kantin ini. Tak kupedulikan ramenku yang masih tersisa setengah. Aku juga tak peduli dengan apa yang akan terjadi padaku saat Jong In tak mendapatiku di sini. Disukai preman sekolah?! Sama sekali tak terpikirkan olehku dan itu bukanlah hal yang patut dibanggakan meskipun dia memiliki wajah di atas rata-rata.__________ .--------------- .Sejak saat itu aku berusaha keras menjauh darinya. Berusaha menyembunyikan diriku sendiri terhadap sosok Kim Jong In. Aku benar-benar tak ingin terlibat dengan preman sekolah. Bukan karena takut menghadapinya, sama sekali bukan. Aku menghindarinya karena yang kudengar dia menyukaiku. Mengetahui bahwa dia menyukaiku membuat rasa takutku padanya lenyap.Namun sekeras apapun aku mencoba, aku mengalami kegagalan. Yeah, seperti saat ini. Tiba-tiba saja dia muncul di sampingku saat aku menutup lokerku. Tentu saja aku terkejut. Tapi berusaha tak kutampakkan sama sekali.“Annyeong, Hye Jin-ah...” ucapnya menyapaku sembari melambaikan tangannya.Aku hanya memandangnya tanpa berniat untuk membalas sapaannya. Sejak kapan dia memanggilku dengan embel-embel ‘ah’?! Kuhela napas, kemudian berbalik arah bermaksud untuk mengindahkan kehadirannya. Namun tak kusangka dia malah menarik pergelangan tanganku dengan keras. Tubuhku terbentur pintu lokerku sendiri. Dan dia malah mengunci tubuhku dengan kedua tangannya yang berada tepat di samping wajahku –menempel pada loker. Ya Tuhan, posisi apa ini? Sebenarnya apa maunya?!“A-apa yang kau lakukan? Biarkan aku pergi, Kim Jong In!! Bukankah kau tak pernah mengganggu anak perempuan? Lalu kenapa kau menggangguku?!” ucapku sedikit emosi seraya menundukkan wajahku. Tak mau memandang wajahnya yang kini berada sangat dekat dengan wajahku. Bahkan napasnya menimpa dahiku.“Baru kali ini...”Aku mengerutkan keningku. Heran dengan penuturannya yang jelas-jelas sangat tak relevan dengan kalimat yang kuajukan. Namun aku tak juga mendongakkan kepalaku, masih enggan berhadapan dengannya yang kini sangat dekat. Apa maksudnya dengan ‘baru kali ini’?“Baru kali ini kau mau mengeluarkan kalimat yang cukup panjang saat bicara padaku.”Aku terperangah. Langsung kudongakkan kepalaku. Dan saat itulah pandangan mata kami bertemu. Sangat dekat. Mungkin jaraknya hanya sekitar 5 cm. Entah kenapa perasaanku menjadi amburadul melihatnya dari jarak sedekat ini. Pandangan matanya mengisyaratkan sesuatu yang entah apa. Aku tak tahu, namun tatapannya terlihat serius dan tidak main-main. Jantungku berdetak cepat. Darahku berdesir. Dan ada perasaan... senang. Hey! Ada apa denganku?Keadaan masih hening. Tak ada satupun dari kami yang bersuara. Dia masih menatapku dengan tatapan itu. Tatapan yang membuatku tak berkutik. Tak bisa melakukan apapun. Membuat organ tubuhku terkunci. Dan kejadian itu terjadi secara tiba-tiba. Aku tak sadar saat dia mendekatkan wajahnya pada wajahku. Yang kusadari hanyalah saat bibirnya telah menyentuh permukaan bibirku. Dan aku bodohnya aku hanya membulatkan mataku karena kaget. Apa yang telah dilakukannya? Dia... MENCIUMKU?!“Apa yang mereka lakukan?!”“Omo omo omo!!”“Omo! Bukankah itu Jong In dan Hye Jin?!”“Apa mereka berciuman? Hey! Ini sekolah!”Aku refleks mendorong tubuhnya dengan keras tatkala beberapa suara tertangkap daun telingaku. Aku mendorongnya cukup keras. Dan setelahnya aku langsung berlari meninggalkan Jong In yang terdiam di depan lokerku. Aku tak peduli. Bodohnya aku malah menangis.________ .------------ .Suasana tak berubah menjadi lebih baik setelah kejadian di depan lokerku waktu itu. Dia selalu menghampiriku. Sebenarnya aku sadar kalau kehadirannya yang selalu menggangguku telah berhasil menghancurkan pertahananku. Aku juga menyukainya. Yeah, biar kuperjelas lagi. AKU JUGA MENYUKAINYA. Tapi tidak! Aku harus menghindarinya. Biar bagaimanapun dia preman sekolah.Aku selalu berlari menjauh saat dia menghampiriku. Atau aku akan langsung menghempaskan tangannya dengan kasar saat dia mencoba meraih pergelangan tanganku, lalu aku berlari pergi menjauhinya lagi. Kejadian seperti itu terjadi berulang-ulang selama beberapa hari. Aku selalu bersikap kasar padanya. Rasa takut itu sudah lama lenyap dari pikiranku. Entah kenapa bayangan saat dia menciumku selalu terngiang di benakku. Dan itu membuatku kesal! Sangat kesal karena ternyata ciuman pertamaku jatuh pada orang yang tak kuharapkan walaupun sebenarnya aku juga memiliki perasaan yang sama.Seminggu telah berlalu sejak kejadian di loker itu. Gossip yang beredar tentang aku dan dia tak juga reda. Beberapa anak yang melihatnya menyebarkannya pada anak lain. Sudah kuduga. Jong In bukanlah orang yang tak terlalu penting sehingga informasi tentangnya diabaikan. Dia adalah aset berharga bagi sebagian gadis di sekolah ini. Oleh karenanya aku sering mendapat sindiran-sindiran sinis beberapa hari ini. Dan itu malah membuatku beranggapan bahwa tindakanku menjauhinya adalah pilihan yang tepat. Aku tak harus memedulikan perasaanku. Aku harus membuang jauh perasaanku ini. Ya, harus!Namun yang namanya perasaan tetaplah perasaan yang bisa memutar balikkan suasana hati. Begitu juga denganku. Tanpa sadar aku malah selalu termenung memikirkan semua ini. Menurutku ini terlalu sulit. Tak jarang aku ketinggalan bis karena sering melamun. Seperti saat ini. Aku ketinggalan bis lagi. Dan tak ada yang bisa kulakukan kecuali menunggu bis selanjutnya datang. Sialnya sekarang keadaan sudah sepi. Hanya ada aku sendiri yang duduk di halte. Dan suasana sepi yang begitu tenang malah membuatku melamun kembali. Melamunkan tentang segala sesuatu yang terjadi padaku akhir-akhir ini. Terutama tentang dia, Kim Jong In.TIN...! TIN...!Suara klakson yang tiba-tiba membuatku kaget. Kudongakkan kepalaku. Dan seketika itu juga keningku berkerut tatkala sebuah motor berhenti tepat di depan halte dimana aku berada. Pengendara motor itu masih mengenakan helmnya. Membuatku tak begitu jelas untuk menerka siapa dia sebenarnya.Keherananku tak berhenti begitu saja saat pengendara motor yang ternyata masih memakai helm itu menghampiriku, kemudian duduk tepat di sampingku. Sangat dekat dengan tempatku duduk, kalau kuperkirakan mungkin jaraknya hanya sekitar 10 cm. Siapa dia sebenarnya dan ada urusan apa denganku?Kuusahakan agar aku tak terlalu penasaran. Kalau dia penjahat, aku bisa langsung berteriak karena ini tempat umum dan masih ada mobil yang berlalu lalang. Namun satu tepukan mendarat tepat di pundakku. Aku langsung menoleh dan kudapati pengendara motor tadi memberikan sebuah kertas padaku. Aku menerimanya dan segera membaca pesan yang tertera di atasnya.‘Apa benar namamu Lee Hye Jin?’“Kau mengenalku? Siapa kau? Dan ada urusan apa denganku?” kataku padanya. Kalau dia memastikan bahwa aku benar-benar Lee Hye Jin, berarti dia tidak mengenaliku, tapi berurusan denganku.Dia mengambil kertas di tanganku lalu menuliskan sesuatu lagi di atasnya. Setelah itu diberikannya kertas itu padaku lagi.‘Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, berjanjilah untuk tetap di sini dan jangan kemana-mana sebelum aku bicara.’Aku menghela napas. Apa susahnya untuk langsung berterus terang? Sungguh! Orang ini membuatku semakin penasaran. “Baiklah. Aku akan tetap di sini dan tidak akan kemana-mana sebelum kau bicara.”Kupikir dia akan langsung bicara padaku atau melepas helmnya, tapi nyatanya dia mengambil kertas itu lagi.‘Janji?’“Tentu saja!” kataku yakin.Dia mulai membuka helmnya. Mulanya hanya dagunya yang terlihat. Namun saat helm itu sudah terlepas dan memperlihatkan siapa sebenarnya pengendara motor, aku terkejut. Bagaimana mungkin dia adalah JONG IN?! Ya Tuhan, kalau aku tahu bahwa pengendara itu adalah Jong In, aku akan langsung lari. Dengan akal liciknya dia menjebakku. Berpura-pura seolah dia tidak mengenalku dan mengadakan perjanjian seperti ini. Oh, apa yang akan terjadi padaku selanjutnya?“Kali ini kau tak bisa kabur lagi dariku. Kau selalu menepati janjimu kan, Lee Hye Jin?”Aku menghela napas mendengarnya berkata seperti itu. “Cepat katakan maumu!” ujarku ketus. Kualihkan pandanganku ke arah lain, tak mau menatapnya.Aku menunggu kalimat apa yang akan dikatakannya padaku. Namun hening. Dia sama sekali tak bersuara. Sebenarnya apa maunya? Apa yang mau dikatakannya? Kenapa dia hanya diam. Kulihat jam tanganku. Ini sudah lewat 7 menit. Tapi kenapa dia hanya diam?Tak sabar, akhirnya kukuatkan hatiku untuk menatap ke arahnya. Dan aku kembali tercekat. Dia tengah menatapku. Tatapannya saat ini sama persis dengan tatapan yang diberikannya di loker waktu itu. Sialnya pandanganku kembali terkunci. Aku berdebar. Namun tidak! Aku harus menghentikannya. Segera kualihkan pandanganku ke arah lain sebelum aku benar-benar tenggelam dalam pesonanya.“Cepat katakan apa maumu, Kim Jong In! Aku tak punya banyak waktu!”Kudengar dia menghela napas. Lalu berujar, “bisakah aku mengantarmu pulang kali ini saja?”________ .------------ .Entah apa yang kupikirkan. Aku menyetujui permintaannya untuk mengantarku pulang. Namun dengan syarat, dia tak akan menggangguku lagi setelah ini. Sialnya aku bahkan tidak berpikir bahwa dia akan mengingkari janjinya. Aku percaya padanya dengan mudah.Suasana saat aku berada di motor yang sama dengannya adalah hening. Tak ada yang berniat untuk membuka suara. Bahkan sampai motor telah berhenti tepat di depan rumahku seperti saat ini. Aku segera turun dari motornya dan melepas helm. Segera kukembalikan helm itu padanya. Dan dia menerimanya.“Terimakasih telah mengantarku pulang,” kataku. Setelah itu aku membalikkan badanku hendak memasuki rumah.“Emm, Hye Jin-ah!”Panggilannya membuatku urung memasuki gerbang rumah. Kubalikkan badanku lagi, menghadapnya dengan kening berkerut penuh tanya.“Mungkin ini pertemuan terakhir kita.”“Tentu saja. Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak menggangguku lagi?” kulihat dia tersenyum mendengar perkataanku. Entah ini hanya perasaanku saja atau tidak, aku merasa senyumnya terkesan dipaksakan.“Aku hanya ingin kau tahu. Aku...” aku menunggu kata-kata apa yang akan keluar dari bibirnya. Kulihat dia menghela napas seolah berusaha untuk menenangkan dirinya. “Aku menyukaimu, Lee Hye Jin. Aku menyukaimu dengan tulus. Terimakasih telah memberiku ramen dan plester saat itu. Kau benar-benar membantu. Dan maaf atas perlakuan usilku padamu. Hanya saja aku tak tahu bagaimana caranya menarik perhatianmu.”Pernyataannya membuatku sempat tertegun untuk beberapa saat. Tapi tidak! Aku tidak boleh terlarut dalam perasaannku sendiri. “Aku tahu. Chanyeol memberitahukannya saat di kantin waktu itu.”“Aku hanya ingin menyatakannya sendiri.”Aku kembali tertegun. Otakku tak merespon. Mulutku seolah terkunci, aku tak tahu jawaban apa yang harus kuucapkan untuk membalas perkataannya. Aku merasa dia benar-benar tulus.“Kalau begitu selamat tinggal, Lee Hye Jin...”Segera aku tersadar. Kuanggukkan kepalaku sementara Jong In langsung menutup kaca helmnya, kemudian dia pergi dari hadapanku dengan motornya. Tapi tunggu?! Apa maksudnya dengan selamat tinggal? Kenapa caranya berpamitan seolah menunjukkan bahwa dia akan pergi jauh? Tiba-tiba saja perasaanku menjadi tak enak.________ .------------ .Tak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Satupun tak ada, kecuali Tuhan. Dan memang begitulah seharusnya. Aku tak pernah menyangka bahwa Kim Jong In benar-benar menepati janjinya. Dia tak lagi menggangguku. Bahkan lebih dari itu, dia tidak pernah sekalipun menunjukkan wujudnya lagi di hadapanku. Dia benar-benar menghilang. Aku tak pernah lagi melihatnya di sekolah. Banyak rumor yang beredar tentang hilangnya Jong In. Tapi tak satupun dari argumen-argumen itu yang masuk akal.Dan aku merindukannya. Entahlah! Aku tak tahu sejak kapan. Yang jelas perasaanku masih melekat. Kupikir sulit untuk menghapusnya. Apa mungkin kepergiaannya karena aku? Kalau memang iya, aku merasa bahwa aku benar-benar bersalah padanya.Bruk!!“Mianhe...” segera kutundukkan kepalaku beberapa kali pada orang yang baru saja kutabrak karena banyak melamunkan Kim Jong In tanpa tahu siapa yang telah ditabrak olehku.“Eoh, bukankah kau Lee Hye Jin?”Aku mendongak dan mendapati Chanyeol berdiri di hadapanku dengan senyum ramahnya itu. Jadi yang kutabrak adalah Chanyeol? Sahabat Jong In?_________ .------------- .Aku merasa hatiku sesak. Aku tidak tahu kenapa aku harus merasa sangat bersalah saat mendengar cerita yang sebenarnya dari Chanyeol yang notabene adalah sahabat dekat Kim Jong In.Jong In benar-benar pergi. Dia pindah ke luar negeri untuk tinggal bersama ibu kandungnya. Kata Chanyeol orang tua Jong In bercerai. Dan Jong In lebih memilih tinggal di kota kelahirannya bersama ayahnya. Sayangnya dia harus rela menjadi korban pemukulan ayahnya sendiri. Karena ayahnya menyalahkan Jong In atas perceraian itu. Lukanya memang tak terlihat. Karena Jong In mendapat pukulan di bagian dada dan bahunya –yang tertutupi pakaian yang ia kenakan.Sosok preman dalam diri Jong In hanyalah kedok agar tak mendapat perlakuan yang sama seperti yang ia dapatkan di rumahnya sendiri. Menyadari hal itu membuatku seolah merasakan kesepian dan penderitaan yang Jong In alami. Hidup tanpa sosok ibu dan hidup dalam bayang penyiksaan adalah hal buruk dan sulit. Aku merasa sakit. Seperti ditusuk ribuan jarum runcing. Dan baru kusadari, ternyata perasaanku padanya bukan hanya sekedar perasaan biasa. Sialnya aku baru menyadarinya.“Apa kau ingat saat memberinya plester? Luka itu karena tamparan ayahnya. Dan dia sangat menyukai pemberianmu. Bahkan dia tidak memakainya dan malah menyimpannya. Saat itu dia mengatakan padaku bahwa dia jatuh cinta. Dan dia tak berani mengungkapkannya. Karena dia tahu dengan jelas kalau kau tak menyukainya. Dia tahu posisinya. Dia sadar kalau dia akan ditolak. Sampai aku menyatakan perasaannya padamu. Kau tahu apa yang dikatakannya? Dia bilang kau akan menjauhinya kalau tahu bahwa dia menyukaimu. Dia bilang dia tak pantas bersamamu.”Entah kenapa perkataan Chanyeol barusan membuatku mengingat pernyataannya padaku. Dia berkata bahwa dia menyukaiku dengan tulus. Tapi aku malah mengabaikannya begitu saja. Baru kusadari kalau Jong In tak sekalipun menanyakan perasaanku padanya. Seharusnya kau bertanya, Kim Jong In!“Sebenarnya aku ingin berterimakasih padamu, Hye Jin-sshi. Berkat kau, dia lebih lama tinggal di sini. Kalau kau tidak memberinya plester waktu itu, mungkin dia sudah pergi saat itu juga. Karena kaulah satu-satunya alasan baginya untuk tetap tinggal di sini. Dia selalu ingin melihatmu. Tapi karena kau tidak menyukainya, tak ada yang bisa dilakukan. Dia tak punya alasan lain. Maka seharusnya dia pergi...”Bukan! Akulah sebenarnya yang membuatnya pergi. Andai saja aku tak berkata padanya untuk berhenti menggangguku, dia pasti masih di sini.“Kenapa kau membiarkannya pergi?” tanyaku. Sedikit kecewa karena Chanyeol membiarkan Jong In pergi begitu saja.“Aku tidak boleh egois, Hye Jin-sshi. Dia sudah banyak menderita. Kalau aku menahannya di sini, dia akan lebih menderita lagi. Lagipula dia ingin hidup bersama ibunya dari dulu...”“Jadi itu maksudnya dia mengucapkan selamat tinggal padaku?”“Begitulah...”“Apa dia akan kembali?” tanyaku lagi.“Entahlah. Aku juga tak tahu mengenai hal itu.”Aku hanya menghela napas mendengar penuturan Chanyeol. Mencoba sekeras mungkin menahan air mata yang kubendung sedari tadi.Mungkin ini terdengar gila, karena aku mulai menginginkan kehadirannya... Padahal jelas-jelas akulah yang mendorongnya untuk menjauh...Terdengar gila karena nyatanya aku tidak bisa menghapus persaanku dengan mudah...Dan benar-benar gila karena ternyata aku adalah seorang pengecut yang tidak mengakui persaannya sendiri...Hanya dua kata, AKU MENYESAL.Harusnya aku tahu segalanya. Seharusnya aku tidak menghindarinya. Seharusnya aku memberinya kesempatan. Seharusnya dia tahu perasaanku!! Seharusnya dia tahu bahwa aku juga mencintainya. Namun apa yang bisa kulakukan? Tidak ada! Semuanya sudah terlambat. Hanya takdir yang bisa mepertemukan aku dan Jong In kembali. Entah kapan. Mungkin suatu saat nanti....____THE END____

It Is Not Crazy Anymore

Author: Kee-Rhopy
Cast: Kim Jongin,Lee Hye Jin, And others
Genre: Romance and others

Happy Reading!!__

Life must go on.
Setidaknya kalimat itulah yang membuatku mampu melewati semuanya. Melewati penyesalan yang sampai sekarang masih kurasakan. Setidaknya aku bisa bertahan, bahkan setelah 7 tahun berlalu sejak kepergian Kim Jong In dari hidupku. Aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Tahu tentang kabarnya saja tidak. Mengorek informasi dari Chanyeol? Percuma. Pada Chanyeol yang sahabat dekatnya saja dia tak memberi kabar, apalagi padaku yang notabene tak berstatus apa-apa. Kehidupan SMA-ku sudah berakhir sejak 7 tahun yang lalu. Kini aku disibukkan dengan kegiatan sebagai seorang dokter. Yeah, sejak kepergian Jong In aku memutuskan untuk fokus pada pendidikanku. Hal itu ternyata bisa mengalihkan perhatianku tentangnya. Dan pada akhirnya sekarang aku berstatus sebagai dokter anak di Seungwon University Hospital.Menguntungkan, bukan? Kepergian Jong In malah memotivasiku untuk bisa masuk jurusan yang terbilang sangat sulit ditempuh. Tapi TIDAK!! Menurutku itu bukan hal yang menguntungkan sama sekali. Hatiku terasa kosong tanpanya. Aku tak bisa melupakan Jong In sepenuhnya. Akibatnya aku tak pernah menerima satupun ajakan kencan dari pria-pria yang menyukaiku. Apa aku terlalu setia? Tidak juga. Hanya saja aku masih belum bisa membuka hatiku untuk orang lain. Dan penyebabnya hanya satu, Kim Jong In. Seharusnya aku tak seperti ini. Akan membahagiakan jika ternyata Jong In masih mencintaiku dan tak punya kekasih. Tapi jika dia sudah melupakanku dan mempunyai kekasih? Oh, itu skenario terburuk. Kenyataan bahwa aku belum bisa melupakannya akan membuatku semakin terlihat menyedihkan. _________________ .-------------------- .Aku menghembuskan napasku keras tatkala menghadapi seorang anak umur 5 tahun merengek, menolak untuk minum obat. In Yeong-ah, kau harus minum obat agar cepat sembuh, mungkin kalimatku terdengar umum, tapi hari ini aku benar-benar lelah dan tak punya persediaan kalimat yang lebih bermutu lagi. Tidak mau. Pamanku sudah berjanji akan menemaniku minum obat. In Yeong gadis kecil pasienku ini malah langsung mengatupkan mulutnya rapat setelah mengucapkan kalimat itu. Ya Tuhan, kenapa anak kecil sangat sulit ditangani?Lagi-lagi aku menghela napas, kemudian melirik Suster Seo yang sedari tadi berdiri di sampingku. Seharusnya dia yang membujuk In Yeong, tapi karena sulit akhirnya dia memintaku membantunya. Yeah, salahkan semua orang  yang terlalu sibuk sehingga membuatku mau tak mau harus membujuk anak kecil ini untuk minum obat. Dia selalu menunggu pamannya.Kalau begitu kapan pamannya akan datang? tanyaku pada suster Seo.Kulihat suster Seo melihat jam di pergelangan tangannya, seharusnya dia sudah datang 30 menit yang lalu.Aku menghela napas, lalu melirik In Yeong yang tetap menutup mulutnya rapat-rapat. Anak kecil memang sulit untuk ditangani, tapi mau bagaimana lagi? In Yeong-ah, kau menunggu pamanmu?In Yeong mengangguk lucu, membiarkan rambutnya yang tergerai ikut bergerak mengikuti arah anggukannya.Bagaimana kalau kau minum obat dulu? Kalau kau belum minum obat sampai saat ini, pamanmu akan sedih, ucapku mencoba membujuknya.Pamanku tidak pernah sedih. Dia paman terkuat sedunia.Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Anak kecil sangat pintar mengelak. Bagaimana kalau paman marah karena In Yeong belum minum obat?Marah? Meskipun dia selalu marah pada sekertarisnya, dia tidak pernah memarahiku.Sedih tidak bisa, marah juga tidak bisa. Apa yang akan kukatakan selanjutnya? Tapi kenapa anak ini sangat tergantung pada pamannya? Kemana ayah dan ibunya?Suster Seo, sepertinya persediaan kalimat bujukanku sudah habis. Mungkin kita memang harus menunggu pamannya datang.Suster Seo mengangguk mengiyakan. Aku hanya menatapnya, lalu memandang In Yeong yang masih mengatupkan mulutnya rapat. In Yeong-ah, berjanjilah untuk minum obat setelah pamanmu datang, ok? kataku sambil tersenyum padanya. Dia hanya mengangguk lucu. Pipinya benar-benar chubby. Membuatku tak tega untuk memaksanya terlalu jauh. Kuacak rambut panjangnya.Namun tiba-tiba mata sipitnya melebar senang memandang objek di belakangku seraya berkata, oh, itu paman sudah datang! serunya dengan senyum mengembang. Benark seketika itu juga bibirku mengatup rapat, tepat saat aku menoleh untuk melihat siapa sosok paman In Yeong sebenarnya. Ya Tuhan, aku tidak bermimpi, kan?Dia mendekat ke arah kami aku dan In Yeong. Dia terus melangkah mendekat dengan senyum mengembang ke arah In Yeong. Dan dia belum menyadari keberadaanku, bahkan saat posisinya tepat di sampingku. Aku hanya terpaku menatapnya yang tengah tersenyum ke arah In Yeong. Duniaku seolah berhenti, dia mejadi objek tatapanku satu-satunya saat ini. Benarkah orang yang berdiri di hadapnku saat ini adalah dirinya?Paman Jong In kemana saja? Dari tadi dokter ini membujukku untuk minum obat. Tapi karena paman belum datang, aku menolaknya.Dia hanya tersenyum pada In Yeong, kemudian perlahan menolehkan arah pandangannya menghadapku. Seketika itu juga tatapan mata kami bertemu untuk ketiga kalinya. Senyumnya yang tadi masih menghiasi wajahnya tiba-tiba hilang. Dia tak mengeluarkan sepatah katapun. Mungkin terkejut saat melihatku. Kalau boleh berharap, bisakah aku menganggap tatapannya masih sama seperti tujuh tahun yang lalu?Lee Hye Jin?_________________ .-------------------- .Dan di sinilah kami sekarang. Duduk berhadapan di kantin rumah sakit. Tak ada yang bersuara meskipun 5 menit telah berlalu. Tak sedetikpun kulewatkan untuk tak memandangnya, memperhatikannya. Kurasa air mataku mendesak untuk keluar. Bagaimana tidak? Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat. Terlebih ditambah dengan kenyataan bahwa aku yang tak pernah bisa menghapus perasaanku. Aku masih mencintainya.Aku mengalihkan pandanganku saat dia mendongak dan tak sengaja memandangku. Kutarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Mencoba sekeras mungkin untuk menguatkan hatiku dan menahan air mataku. Ya Tuhan, kumohon, biarkan aku menangis saat dia sudah tak di hadapanku. Bagaimana kabarmu, Hye Jin-sshi? dia membuka suara.Aku tak beralih memandangnya, sedikit kecewa dengan tambahan sshi yang diucapkannya di belakang namaku. Kenapa dia tidak lagi memanggilku dengan panggilan Hye Jin-ah? Lee Hye Jin, kau baik-baik saja?Aku gelagapan mendengar suaranya lagi. Segera kuanggukkan kepalaku, aku baik-baik saja. Seperti yang kau lihat, Kim Jong In. Lalu bagaimana denganmu?Dia tersenyum. Dan aku berani bersumpah bahwa senyumnya terlihat sangat.... entahlah. Aku juga baik-baik saja. Kau bekerja di sini?Begitulah. Lalu bagaimana denganmu? Kapan kau kembali? tanyaku lagi. Sangat banyak yang ingin kutanyakan padanya. Tapi satu-satunya hal yang paling ingin kuungkapkan hanya satu, kata maaf. Aku ingin minta maaf karena tak mengakui perasaanku saat itu. Aku ingin mengatakan bahwa aku menyesal.Aku kembali sejak 4 bulan yang lalu, ya, karena In Yeong memintaku untuk kembali ke sini. lagi-lagi seorang Kim Jong In tersenyum. Membuatku setengah mati menahan haru. Tak pernah kusangka akan bertemu dengannya lagi. Tuhan, terima kasih telah mempertemukanku dengannya. Setidaknya aku bisa melihatnya lagi setelah sekian lama. Aku tersenyum memandangnya bercerita panjang lebar tentang In Yeong. Ternyata In Yeong adalah anak dari sepupunya yang telah meninggal dunia karena kecelakaan. Hal itu membuat ia dan ibunya menjadi wali anak itu. Caranya bercerita tentang In Yeong sungguh berhasil membuat lelahku lenyap. Entah ini karena efek ceritanya yang menarik atau lebih karena aku merindukan suaranya. Aku tak tahu. Yang jelas, berhadapan dengannya saat ini, mendengar suaranya, memandang wajahnya yang tersenyum, seperti mimpi bagiku. Aku bahkan mencubit lenganku berkali-kali untuk memastikan bahwa ini benar-benar nyata. Dan tanpa sadar, setetes air mata jatuh membasahi pipiku. Hye Jin-sshi, kau menangis? pertanyaannya membuatku refleks menghapus air mata yang entah kapan telah mengaliri pipiku. Dia memandangku khawatir.Oh, tentu saja tidak. Hanya saja mataku terasa agak perih, entah kalimat apa itu, aku tak punya ide lain. Kulihat dia hanya ber-oh ria sembari menyandarkan kembali punggungnya pada sandaran kursi. Ehm, Hye Jin-sshi, kau tidak sibuk? Sepertinya aku mengganggu pekerjaanmu, katanya lagi. Oh, tentu saja tidak. Tapi, aku menggantung kalimatku, menatapnya yang tengah menunggu kelanjutan pernyataanku dengan pandangan ragu, bisakah kau tidak berbicara formal padaku? Maksudku, rasanya agak aneh karena kita kenal satu sama lain.Baiklah, bagiku itu bukan hal yang sulit, ucapnya, lagi-lagi tersenyum. Setelah itu kami berdua bicara cukup panjang. Kami tertawa dan tersenyum bersama. Situasi ini masih sulit dipercaya, tapi aku tak mau memikirkannya lebih jauh lagi. Yang paling penting, aku sudah bertemu dengannya. Bertemu dengan Kim Jong In yang telah berevolusi, dari seorang preman sekolah menjelma menjadi seorang pengacara. Dia benar-benar berbeda. Dari segi penampilan yang tentunya beribu kali lipat lebih rapi dan lebih menarik dari tujuh tahun yang lalu, dari caranya bicara yang lebih sopan, dan dari caranya memandang. Dia, benar-benar lebih baik dari Jong In yang dulu kukenal sebagai preman sekolah.Perbincangan kami berakhir dengan saling bertukar kartu nama. Dan aku pulang ke apartemenku dengan senyum yang mengembang. Hari ini benar-benar membahagiakan._________________ .-------------------- .Kejadian di rumah sakit seminggu yang lalu itu membuat intensitas pertemuanku dengannya semakin bertambah. Sejauh ini aku bertekad tak akan melakukan hal yang akan membuatku menyesal. Ya, bila saatnya sudah tiba, aku akan mengatakan bahwa aku menyesal dan minta maaf. Lalu akan kukatakan bahwa aku menyukainya, dari dulu, sebelum ia pergi, dan sampai sekarang, detik ini. Untuk itu, aku harus melancarkan aksiku sebaik mungkin. Setiap pagi aku bahkan pergi menemui In Yeong, kalau tidak untuk mengecek keadaannya, aku hanya sekedar menyapa. Tak pernah absen. Itu kulakukan agar aku punya alasan untuk bertemu dengan Jong In setiap hari dan mengobrol dengannya. Aku tahu ini salah, tapi aku tak punya cara lain.Jika 7 tahun yang lalu Jong In yang berinisiatif mendekatiku, maka sekarang kebalikannya. Akulah yang terus-terusan mencoba lebih dekat dengannya.Saat ini aku tengah melangkahkan kakiku menuju ruangan tempat In Yeong dirawat. Kutengok jam tangan yang bertengger manis di pergelangan tangan kiriku. Seharusnya Jong In sudah datang 5 menit yang lalu. Dengan langkah ringan dan senyum yang tak hentinya menghiasi wajah, aku berjalan mendekati ruangan In Yeong yang sudah beberapa meter di depanku. Kutarik napas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan setelah sampai di depan ruangan In Yeong. Kupegang kenop pintunya dan kubuka perlahan. Seketika itu juga aku tersenyum mendapati Jong In telah duduk tepat di samping ranjang In Yeong. Rupanya mereka sedang berbicara dengan serius. Dan dari yang kudengar, bisa kupastikan kalau In Yeong memekik senang sementara Jong In hanya tersenyum menanggapinya. Baru saja aku berniat masuk, namun kata-kata In Yeong yang nyaring tertangkap daun telingaku.Kalau begitu aku harus memakai gaun yang bagus saat pesta pertunangan paman nanti. Kumohon belikan aku gaun baru... Suara In Yeong terdengar memohon. Tapi bukan itu yang membuatku menutup kembali pintu ruangan. Melainkan kata pertunangan yang baru saja In Yeong ucapkan. Jong In akan bertunangan? Benarkah? Aku terdiam tepat di depan ruangan In Yeong. Kenyataan ini terlalu mengejutkanku. Aku bahkan sudah merasakan mataku memanas. Bersiap untuk menumpahkan cairan bening itu.Tapi, paman. Bagaimana dengan dokter itu?Maksudmu?Maksudku, dokter yang sering datang ke sini untuk menemui paman. Ah, sebentar lagi pasti dia ke sini.Hye Jin?Ya. Sepertinya dia menyukai paman.Ah, kau ini. Mana mungkin?Lalu untuk apa dokter itu selalu ke sini saat paman datang? Padahal dia bukan dokter yang menanganiku.Pembicaraan mereka samar-samar masih bisa kudengar dengan jelas. Langsung saja aku berlari menjauh. Berharap dengan berlari aku bisa meredam air mataku agar tak keluar. _________________ .-------------------- .Sejak hari itu aku tak lagi menemui In Yeong. Tujuannya hanya satu, agar aku tak lagi melihat Kim Jong In. Mana mungkin aku mengharapkannya lagi sementara dia sudah sepenuhnya melupakan perasaannya terhadapku? Seharusnya aku sadar kalau tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat. Siapa yang mau menunggu cinta tanpa kepastian selama itu? Ya, siapa yang mau berharap pada sesuatu yang tak pasti? Kecuali aku. Aku yang dulu dengan mudah menolak kehadirannya, kini terpuruk karena saat dia kembali, aku tak punya kesempatan lagi. Tak punya kesempatan untuk memberitahunya tentang perasaanku. Saat ini aku melamun di cafetaria Rumah Sakit. Sendirian. Hanya ditemani secangkir teh hangat di hadapanku. Yang ada dipikiranku hanya satu, bagaimana caranya menghapus Kim Jong In dalam benakku? Tidak mungkin aku terus berharap pada seseorang yang sudah memiliki kekasih, bahkan akan bertunangan. Lee Hye Jin?!Aku terkesiap dengan suara yang memanggilku sehinggu aku refleks mendongakkan kepala, menghadap orang yang menyebut namaku. Dan aku mematung karena Jong In-lah yang ada di hadapanku.Boleh aku duduk di sini? tanyanya sopan.Aku tersenyum kikuk, kemudian mengangguk perlahan. Dadaku langsung bergemuruh hebat. Untuk mengatasinya, langsung saja kuminum teh yang masih hangat di atas meja. Akhir-akhir ini aku jarang bertemu denganmu. Kau sibuk?Be-begitulah. Aku mengiyakan pertanyaannya. Padahal aku sendiri yang berinisiatif menjauhinya. Tapi tak ada jalan lain selain berbohong.Karena kita sudah bertemu di sini, aku akan memberimu sesuatu. Jong In membuka tas yang dibawanya. Lalu mengeluarkan sebuah benda berbentuk persegi panjang. Dan perasaanku langsung tak enak setelah melihat benda yang kurasa adalah sebuah undangan. Apa itu undangan pertunangannya? Oh Tuhan, harusnya kau tak membiarkan Jong In menemuiku kali ini. Aku tak sanggup menerima undangannya.Dan benar saja. Aku tahu dengan jelas saat Jong In memberikan benda persegi panjang itu padaku. Sebuah undangan. Hatiku bergemuruh hebat. Dan kurasa cairan bening itu sudah bergumul di pelupuk mataku. Bersiap keluar.Itu undangan acara pertunanganku. Kuharap kau bisa datang, ucapnya kemudian. Aku menunduk. Sekuat tenaga menahan agar air mataku tak tumpah. Kuhembuskan napas keras. Kudongakkan kepalaku untuk menatapnya. Selamat atas pertunanganmu, Kim Jong In. Kurasa aku harus pergi sekarang, aku langsung berdiri dan melangkah menjauh tanpa meminta persetujuannya. Ini menyakitkan. Sungguh. Keadaannku benar-benar menyedihkan saat ini. Bagaimana mungkin aku masih mengharapkan orang yang jelas-jelas sudah memiliki kekasih dan bahkan akan bertunangan?!  Aku tak peduli dengan air mataku yang terus turun saat ini. tak peduli dengan tatapan-tatapan heran yang orang-orang berikan padaku saat aku melewati mereka. Aku terlalu sibuk menenangkan hatiku. ============= ___________________ Kalian tahu? Mencintai seorang Kim Jong In adalah salah satu hal gila yang pernah kulakukan. Aku menyukainya dan perasaan itu tak berubah sedikitpun. Aku sadar kalau semua ini adalah salahku. Seandainya aku mengatakan perasaanku yang sebenarnya 7 tahun lalu, ini tak akan terjadi. Meskipun pada akhirnya Jong In pergi, aku tak akan semenyesal ini karena membiarkan Jong In tahu perasaanku yang sebenarnya. Ah, sudahlah! Aku tak bisa selalu berpijak pada kata seandainya yang jelas-jelas tak akan pernah terjadi. Kini aku sadar kalau aku telah berharap pada suatu hal yang tak pasti selama tujuh tahun dan ternyata hasilnya hanya kesia-siaan belaka. Aku menghembuskan napas sembari terus melangkah. Menyusuri koridor rumah sakit yang semakin terasa panjang. Sesekali kualihkan pandangan ke arah lain. Berharap menemukan hal lain yang bisa mengalihkan pikiranku. Apa saja. Asalkan aku terhindar dari pemikiran tentang Kim Jong In yang akan bertunangan lima hari lagi. Hye Jin-ah!!Sebuah suara menghentikan langkahku. Dan aku langsung tahu siapa yang menyebut namaku barusan. Aku hafal suaranya. Bahkan bayangannya saat tersenyum msih tergambar dengan jelas dalam ingatanku.Aku menoleh, dan benar saja, Jong In melangkah mendekatiku. Kau akan pulang? tanyanya, ramah seperti biasa.Aku mengangguk dan kami melangkah bersama. Kau biasa pulang dalam keadaan larut seperti ini? tanyanya dengan nada suara yang terkesan khawatir. Oh, ayolah Kim Jong In. Bisakah kau tidak bertanya seperti itu agar aku tak lagi berharap padamu? Lagi-lagi aku hanya mengangguk menanggapi. Enggan bersuara.Dan kau baik-baik saja dengan hal itu?Aku menghela napas dan mengangguk. Tak sedikitpun terbersit dalam pikiranku untuk membalas pertanyaannya. Harusnya kau meminta keringanan untuk pulang lebih awal. Kau tahu? Akhir-akhir ini sering sekali terjadi kejahatan. Kurasa itu berbahaya untukmu. Aku hanya diam mendengar kalimat yang diucapkannya barusan. Dadaku tiba-tiba saja berdebar lebih kencang. Entah kenapa aku merasa dia terlalu perhatian padaku. Oh, tidak! Apa yang kupikirkan? Harusnya aku hanya menganggap kata-katanya sebagai bentuk peringatan untuk lebih berhati-hati. Tak terasa langkah kami telah sampai di lobi Rumah Sakit dan akan segera keluar dari bangunan ini. Segera kubelokkan tubuhku ke arah kiri, arah pulang menuju apartemen. Hye Jin-ah, kau yakin akan pulang sendiri?Aku berhenti melangkah dan menoleh ke arahnya. Kuanggukkan kepalaku dengan pasti. Kau yakin? sekali lagi dia terlihat khawatir. Ya Tuhan, kenapa aku merasa kalau dia masih memiliki perasaan itu untukku?Aku sudah terbiasa, jawabku akhirnya disertai dengan senyum yang mungin akan terlihat sedikit kaku.Kau yakin? Apa perlu kuantar?Oh, bahkan dia menawariku untuk pulang bersama. Jangan salahkan jika aku merasa perhatiannya terlalu berlebihan untuk saat ini.Tidak baik untuk seorang gadis sepertimu pulang selarut ini sendirian, lanjutnya lagi. Dan kali ini aku merasa harus bertindak. Aku harus tegas pada diriku sendiri. Ya, aku harus tegas.Akhirnya kulangkahkan kakiku mendekatinya, untuk apa kau mengajakku pulang bersama? jujur saja, aku merasakan sakit saat mengatakan hal itu padanya. Kalau aku diberi kesempatan untuk memilih, aku akan mengiyakan ajakannya. Tapi tidak! Biar bagaimanapun aku tak bisa membiarkan diriku jatuh lebih dalam lagi dengan perasaan ini.Te-tentu saja aku mengkhawatirkanmu.Untuk apa kau mengkhawatirkanku? tanyaku lagi. Kulihat dia diam. Mungkin bingung dengan pertanyaanku, atau malah bingung dengan jawaban apa yang akan ia berikan. Entahlah, aku tak tahu.I-i-tu....Aku memandangnya lekat. Kutarik napas dalam dan mengumpulkan segenap keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya. Aku ingin mengakhirinya saat ini. Sudahlah, Kim Jong In!Jong In menatapku heran. Berhentilah mengkhawatirkanku! Berhentilah bersikap baik padaku dan jangan pernah temui aku lagi! ucapku penuh penekanan. Kutatap sosoknya dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Sekuat tenaga aku memendungnya agar tak tumpah.Memangnya kenapa?Karena aku akan menganggapmu masih menyukaiku, sama seperti 7 tahun yang lalu. Jadi berhentilah untuk bersikap seolah-olah kau peduli padaku! jelasku. Habis sudah. Aku tak bisa lagi membendung air mataku. Aku menangis di depannya.Hye Jin-ah, k-kau... menyukaiku?Aku tak segera menjawab. Kutatap dia dengan lekat, aku menyukaimu. Aku tahu aku terlambat. Seharusnya aku mengakuinya 7 tahun yang lalu. Jadi kumohon padamu, mulai sekarang bersikaplah seolah-olah kau tidak mengenalku. Dengan begitu aku akan lebih mudah melupakanmu.Aku menundukkan kepalaku. Aku tak peduli jika aku terlihat lemah di matanya. Segera kubalikkan badan, bermaksud untuk melangkah menjauh, namun tangannya menahan pergelangan tanganku.K-kau, benar-benar menyukaiku?Aku diam. Tak sanggup berkata-kata lagi.Kenapa kau baru mengatakannya? tanyanya lagi.Aku masih diam. Tak tahu apa yang harus kujawab.JAWAB AKU, LEE HYE JIN!!! dia berteriak, membuatku mau tak mau menatapnya yang juga tengah menatapku. Aku tak tahu apa arti tatapannya. Napasnya memburu.AKU MENYUKAIMU KIM JONG IN!!! kataku dengan suara lantang. Kau puas? Kenapa kau baru mengatakannya? tanyanya dengan suara yang terdengar lemah. Andai kau mengatakannya lebih awal, mungAku tak akan menyuruhmu untuk menyukaiku lagi, potongku cepat sebelum semuanya bertambah rumit. Aku tak mau lagi terjerat pada perasaan yang terbalas sia-sia ini. Dan aku harus mengakhirnya. Acara pertunaAku akan menghadirinya, tegasku.Jong In mendongak menatapku, Hye Jin, k-kau....Aku akan berusaha keras menghapus perasaan ini. Ah, kenapa aku baru melakukannya sekarang?! Harusnya aku tahu kalau hal ini akan terjadi. Tidak mungkin kau masih mengharapkanku. Dan aku cukup tahu diri untuk mundur. Kuharap kau tak bahagia dengan kekasihmu. Jangan pernah meninggalkan dia.Aku segera melangkahkan kakiku menjauhi sosok Jong In yang terdiam di tempatnya berdiri. Berjalan sangat pelan dengan air mata yang tak hentinya mengalir. Setidaknya aku sudah mengungkapkan isi hatiku padanya. Setidaknya aku sudah berkata bahwa aku menyukainya.=============== _____________________ Setelah kejadian itu, aku tak lagi bertemu dengannya di Rumah Sakit. Tak lagi pergi menemui In Yeong yang kutahu dalam waktu dekat ini tidak akan menjalani rawat inap lagi. Aku sudah cukup terpuruk dengan keadaanku sekarang. Jadi aku memfokuskan perhatianku pada pekerjaan. Bekerja tak kenal lelah dan tak kenal waktu. Aku tahu itu salah. Tapi tak ada lagi yang bisa kulakukan. Jika aku membiarkan diriku tak melakukan apapun, aku akan mengingat sosoknya lagi. Aku berusaha sekuat tenaga agar terlihat biasa. Dan seharusnya juga terlihat biasa hari ini, tepat di hari pertunangan Jong In. Kini aku beridiri di tengah-tengah kerumunan orang yang menghadiri acara ini. Terlihat sangat ramai. Gelak tawa terdengar dimana-mana. Kontras sekali dengan keadaan hatiku yang kacau. Keadaan ini malah tak bisa berkonsentrasi dengan acara ini. terlalu ramai, dan sialnya diantara orang-orang ini tak ada satupun yang kukenal. Tiba-tiba saja dadaku bergemuruh saat mendengar suara MC yang memberitahu bahwa acara inti akan segera dimulai. Itu tandanya sebentar lagi Jong In akan memakaikan sebuah cincin di jari manis kekasihnya. Dan benar saja. Jong In berdiri di atas sana. Di sebelahnya berdiri seorang gadis berambut panjang bergelombang. Pasti dialah gadis itu kekasih Jong In. Mataku seolah tak bisa berkedip. Tatapanku hanya mengarah pada satu objek. Dan objek itu adalah Jong In. Sosok yang selama ini masih bersarang di hatiku, bahkan sampai saat ini. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya ketika tatapan mata kami bertemu, tepat saat Jong In akan memakaikan cincin pertunangannya di jari manis gadis itu karena aku tak bisa menahan air mataku dan berlari dari sana. Tak peduli pada beberapa orang yang tak sengaja kutabrak. Aku berlari dan terus berlari. Satu hal yang kusadari bahwa aku masih sangat berharap Jong In jadi milikku. Ya Tuhan, apa aku sudah gila?!===================== ______________________________ Pagi ini aku terbangun dengan mata yang bengkak. Lelehan eyeliner yang membekas di pipi dan juga rambut yang sangat berantakan. Tadi malam, aku bahkan tak berpikir sedikitpun untuk membersihkan diri sebelum tidur. Yang kulakukan hanya menangis sepanjang malam. Bahkan saat bel apartemen yang sempat berbunyi beberapakali tak kuhiraukan juga. Aku benar-benar menghabisan waktuku untuk menangis. Segera kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku sengaja meminta izin pada pihak Rumah Sakit untuk tidak bekerja hari ini. Setelah selesai membersihkan diri, aku bergegas membuka pintu lemari es yang berada di dapur karena merasa lapar. Dan seketika itu juga aku terkejut mendapi isinya yang kosong melompong. Tak ada jalan lain selain pergi ke supermarket di depan gedung apartemen. Akupun melangkahkan kakiku menuju pintu. Cklek! Seketika itu juga aku terkejut saat mendapati seseorang ambruk bersamaan dengan terbukanya pintu. Aku refleks melangkah mundur.Aku belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi.Akhirnya kau keluar juga, Lee Hye Jin! Kau tahu berapa lama aku menunggumu di sini sampai tertidur? Dan di sini dingin sekali. Biarkan aku masuk!================ _______________________ Aku tak henti-hentinya memandang sosok yang kini tengah meminum kopi buatanku dangan tatapan heran luar biasa. Mungkin mataku masih terbelalak kaget saat ini. tapi siapa yang paduli dengan hal itu? Yang ada di pikiranku hanyalah satu. Kenapa Jong In bisa ada di depan apartemenku dan tertidur semalaman di sana? Mungkinkah orang yang membunyikan bel apartemen adalah dia?Tuk! Jong In menaruh gelas kopi di atas meja. Sedetik kemudian, dia memandangku seraya tersenyum.Kau tahu berapa lama aku menunggumu di luar sana? Aku membunyikan bel beberapa kali, tapi kau tak membukakan pintu sampai-sampai aku tertidur semalaman karena menunggumu keluar. Ah, rasanya capek sekali.Ke-kenapa kau.. aku ragu. Dan di saat keraguan melandaku, bisa-bisanya Jong In bersikap tenang seolah tak terjadi apa-apa. Sebenarnya ada apa dengannya? Bukankah seharusnya dia bersama tunangannya saat ini?Hye Jin-ah, aku menjatuhkannya.Aku terdiam, tak mengerti maksud dari perkataannya.Aku menjatuhkan cincinnya dan membatalkan pertunanganku.Aku langsung terbelalak kaget. Dia yang semula menunduk mendongak menatapku lekat. seketika itu juga dadaku kembali bergemuruh. Tatapan itu, sama dengan tatapan yang diberikannya dulu. Tatapan itu sama dengan tatapannya padaku tujuh tahun lalu. Hye Jin-ah, aku masih mencintaimu. Aku membatalkannya karena aku mencintaimu. Kau tak memberiku kesempatan untuk bicara saat itu. Dan kau selalu menghindariku. Kukira kau tidak mengharapkanku lagi dan sudah merelakanku. Tapi saat aku melihatmu menangis tadi malam, aku yakin hatimu belum berubah.Ta-tapi bagaimana dengannya? tanyaku tak habis pikir. Gadis itu pasti tengah terluka saat ini.Tidakkah kau bahagia karena aku membatalkan pertunanganku? Kenapa kau menanyakannya?Kim Jong In! Aku tahu bagaimana rasanya ditinggalkan! Tidakkah kau telah bersikap egois karena memilihku?! aku tahu aku mencintainya dan akan terus begitu. Tapi membayangkan orang lain tersakiti hanya karenaku membuatku terlihat seperti orang jahat yang tak berperi kemanusiaan. Seharusnya aku tak mengungkapkan perasaanku malam itu.Hye Jin-ah, tidakkah kau juga berpikir tentangku? Aku sudah lama ingin bersamamu. Jauh sebelum kau punya perasaan itu padaku! Aku tahu ini egois untuk Se Hyun. Tapi apa yang bisa kulakukan kalau aku masih mencintaimu? Tetap bersamanya sama saja dengan membohongi perasaanku sendiri!! kata Jong In penuh penekanan di setiap katanya. Ia terlihat marah. Dan aku menyadari bahwa perkataannya adalah benar. Tak terasa air mataku jatuh. Yang kurasakan selanjutnya adalah dia yang mendekapku. Mendekapku sambil sesekali mencium puncak kepalaku.Aku memang egois Hye Jin-ah. Dan kurasa aku tak akan bahagia jika tak bersamamu. Kita sudah terlalu lama menderita karena hal ini. Mulai sekarang pikirkan saja kebahagiaan kita! ucapnya dengan nada yang lembut.Aku hanya mengangguk di sela tangisanku yang semakin menjadi. Bukan karena masih memikirkan Se Hyun, gadis yang nyaris menjadi tunangan Jong In. Sama sekali bukan. Ini tangis bahagia. Bahagia karena nyatanya Jong In bersamaku saat ini. Kurasa aku salah dalam satu hal. Mencintai Jong In bukanlah hal gila. Mencintainya dan tetap berharap padanya adalah salah satu hal yang indah karena pada akhirnya kami bersama. Dia sangat berarti untukku, dan selamanya akan tetap begitu.

THE EnD_________________