Author : ShanShoo (@ikhsan291)
Casts : Shin Hayoung (OC/You) | Luhan of EXO-M
Genre : Sad-romance (Maybe)
Length : Ficlet
Rating : T
Disclaimer : Cuma mau bilang, ff ini murni hasil imajinasi aku aja. Yang ga suka, ga usah baca. Yang udah baca, sempetin komen, ya. Makasih :D
Sorry for the typos ^^
Happy reading~
‘Aku berhasil mendapatkannya, Hayoung-ah. Bukankah itu berarti, ia menyukaiku juga?’
Isak tangis yang tak bisa diredam, seolah menemani keheningan Hayoung di dalam kamarnya yang bertemankan cahaya temaram lampu kecil di atas nakasnya. Ia mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel yang menampilkan isi pesan, untuk menatap kosong hamparan jalan raya kota Seoul dari balik jendela besar kamarnya yang berwarna redup sembari duduk memeluk lututnya di atas tempat tidur. Napasnya tak bisa ia atur kembali, seolah ia sudah tidak memiliki tenaga lagi sekedar untuk meredakan napasnya yang terasa sesak. Seluruh air matanya mengalir membasahi pipi tirusnya yang pucat.
Semua keinginan dan harapannya terhempas berkeping-keping. Seluruh angan-angannya seolah terbang tinggi menjauhi dirinya. Tak ada lagi sebuah harapan bagi Hayoung untuk mendapatkan cinta yang sesungguhnya, tak ada lagi takdir kebahagiaan yang mengiringi langkahnya ke manapun ia pergi. Semuanya terasa semu dan buram. Ia merasa semuanya percuma saja untuk menjalani hidup, jika pada kenyataannya seseorang yang ia suka tak pernah merasakan perasaannya.
“Bagaimana bisa aku terlihat selemah ini?” lirihnya tak kuasa menahan kembali rasa sesak yang membuat tubuhnya lemah seketika, menggetarkan kedua bahunya hanya untuk menekan seluruh cairan bening di kedua pelupuk matanya.
Beberapa detik setelahnya, ponsel milik gadis itu berdering keras. Hayoung terdiam tak bergeming, seolah membiarkan deringan ponsel itu menemani keheningannya di malam menyakitkan ini.
Sejujurnya, ia ingin menerima sambungan telpon yang ia yakini, seseorang yang menghubunginya itu adalah dia. Dia yang sudah beberapa lama ini selalu bersamanya, menenangkan jiwanya, menemani hari-harinya dikala ia merasa kesepian.
Sejenak ponsel itu tak lagi berdering. Namun beberapa saat kemudian, ponselnya kembali menderingkan sebuah melodi lembut yang disukainya. Membuat Hayoung tak mampu lagi menahan desakan dalam hati untuk segera mendengar suara lembut milik pria itu yang begitu dirindukannya.
Kepalanya menoleh ke arah samping, memerhatikan layar ponselnya yang menyala dengan pandangan buram. Baiklah, sepertinya ia sudah mulai bisa menenangkan diri dengan cara menghirup napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Ia terus mengulanginya sampai ia benar-benar merasa tenang.
Tangan putihnya terulur meraih ponselnya, mengamati sejenak nama penelpon yang tertera, menghela napas panjang lalu memulai percakapannya dengan pria itu.
“H-halo...” sapa Hayoung dengan suara yang parau.
“Hayoung-ah...”
Deg
Ini suaranya...
Ini adalah suara seseorang yang begitu ia cintai...
Ini adalah suara seseorang yang tak ia sangka, telah menyakiti hatinya, dan telah menusukkan jarum-jarum tajam ke dalam batinnya.
Ya, itu dia. Luhan.
“Hayoung-ah, apa kau mendengar suaraku?” alunan ceria dari ucapan Luhan terdengar jelas di telinga Hayoung.
Gadis itu mengangguk dalam diam, ia tak bisa membalas ucapan Luhan. Hayoung takut jika ia berujar, ia akan menumpahkan kembali seluruh air mata yang sudah ia tahan sebisa mungkin. Apakah rasanya begitu menyakitkan, sampai-sampai Hayoung merasa dirinya selemah ini?
“Malam ini aku berhasil mendapatkan cinta Ahra! Bukankah aku hebat? Ah, seharusnya kau jangan mencibirku tak bisa mendapatkannya, jika kenyataannya aku bisa!” kata Luhan, masih dengan nada ceria.
Gadis itu tersenyum miris. Tangannya yang bebas, menghapus cepat bulir air matanya. Ia menghela napas panjang untuk meredakan rasa sesak yang semakin hebat.
Ia terlalu bodoh.
Ia terlalu mencintai Luhan.
Ia terlalu takut kehilangan Luhan.
Ia terlalu yakin, jika ia dan Luhan akan tetap bersama.
Hingga ia tak menyadari, jika Luhan bukanlah seseorang yang diharapkannya.
“Setidaknya, kau harus mengucapkan selamat padaku, sebagai seorang sahabat yang menyayangi sahabatnya. Bukankah begitu?” sepertinya Luhan tak menghiraukan keadaan Hayoung, mungkin ia terlalu bersemangat mengutarakan kebahagiaannya malam ini.
Seulas senyum getir terukir di kedua sudut bibir gadis itu. Ia ingin mengucapkannya, ia ingin memberikan ucapan selamat pada sahabatnya itu. Tapi, mengapa lidahnya begitu kelu untuk digerakkan? Mengapa ia tak bisa berujar apa-apa, hingga hanya terdengar suara-suara kecil dari tenggorokannya?
“Luhan-ah...selamat, kau...berhasil...”
“Hey hey, kau kenapa? Apa terjadi sesuatu? Apa aku harus pergi ke rumahmu sekarang, hm?”
Tidak tidak! Luhan tidak boleh tahu apa yang terjadi pada Hayoung. Jika ia tahu, maka ia akan memaksa gadis itu untuk menceritakan masalahnya sampai tuntas. Dan jika Hayoung menceritakannya, maka Hayoung akan bersiap mendapat suatu respon tak terduga dari Luhan.
“Karena ketika kau telah mencintainya, maka kau harus siap menjalani rasa sakit di saat dia yang kau cintai tak memandangmu.”
“Kau tak perlu datang kemari, Lu. Aku tidak apa-apa.” Cegah Hayoung dengan raut wajah yang mulai pucat.
Ia hanya takut Luhan mengetahuinya...
—
Hayoung memaksakan diri untuk menatap wajah Luhan yang menatapnya lekat. Seolah memberi berbagai macam pertanyaan lewat tatapan matanya yang sipit pada Hayoung. Entahlah, ia tak tahu apa yang sedang dipikirkan Luhan sekarang. Tapi ia tetap berharap, semoga apa yang dipikirkan Luhan tidak sesuai dengan apa yang diperkirakannya.
“Kau yakin, kau baik-baik saja? Wajahmu pucat, Young.” Luhan melipat kedua tangannya di atas meja pelanggan kafe berbentuk bundar. Ia terus memerhatikan wajah Hayoung yang terlihat berbeda dari biasanya.
“Aku baik-baik saja, Lu.” Elak Hayoung, lantas menyesap americano yang diantarkan oleh pelayan beberapa menit yang lalu.
Luhan ikut menyesap minumannya, namun pandangannya tetap mengarah pada Hayoung. “Baiklah, aku percaya. Ah, mana ucapan selamatnya? Apa kau tak akan mengucapkannya?” suara Luhan terdengar kembali ceria, kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah lengkungan senyuman lebar.
Hayoung tersenyum kecil, “Selamat, Luhan-ah. Semoga kau dan Ahra tetap bersama sampai kapanpun.
“Bahkan, senyuman manis yang kau tunjukkan di bibirmu padanya, tak akan memungkiri keadaan hatimu saat ini. Keadaan di mana hatimu membutuhkan sebuah obat yang begitu langka, tak mudah untuk ditemukan.”
Luhan terkikik pelan. “Terima kasih, Hayoung-ah. Aku tahu, kau pasti senang mendengar berita ini, kan?” katanya sambil mengusap sudut bibir.
—
Mereka berjalan bersama-sama, menyusuri trotoar jalan raya dengan bibir yang mengatup rapat. Sejujurnya, Luhan tak begitu yakin jika Hayoung baik-baik saja meskipun gadis itu sendiri yang bilang. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu yang telah bersahabat dengannya lebih dari 3 tahun. Namun, ia juga tak ingin memaksakan diri Hayoung untuk berterusterang padanya. Setidaknya ia masih menghargai masalah pribadi seorang sahabat yang memang tak boleh dibicarakan jika itu memang benar-benar tak ingin diungkapkan.
“Udara malam ini sangat dingin, apa kau tak kedinginan?” tanya Luhan untuk mengalihkan suasana hening.
“Tidak,”
“Meskipun tidak, sebaiknya kau keluar sambil mengenakan pakaian hangat. Aku takut kau sakit, Young.”
Hayoung menghentikan langkahnya, ia menatap ujung sepatunya yang sedikit berdebu. Mencoba untuk menahan kembali bulir bening yang bisa jatuh kapan saja. Sungguh, ia tak mau menangis di depan Luhan.
Menyadari Hayoung yang tak berjalan di sisinya, Luhan menoleh ke arah belakang. Mendapati Hayoung yang mematung di tempat. Ia segera menghampiri gadis itu, dan menyentuh bahunya. “Kau sakit? Seharusnya kau bilang padaku, Young-ah.”
Bahunya bergetar, dan Luhan menyadari hal itu. Ia semakin tak mengerti atas apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Apakah masalah yang dialaminya cukup pelik, hingga mampu membuat sahabatnya yang tak pernah menangis selama bersama dengannya itu, menangis?
“Aku mohon, ceritakanlah padaku, Hayoung-ah. Jangan membuatku khawatir. Aku benci akan hal itu!” tegas Luhan, berusaha menekan emosinya.
“Bolehkah...aku memelukmu?” Hayoung mengangkat wajahnya, menampilkan raut kacau di wajahnya yang tirus.
Melihatnya, membuat Luhan tercengang. Hatinya seolah ikut merasakan kepedihan yang dialami Hayoung.
“Aku ingin memelukmu sebagai sahabat. Ya, sebagai sahabat.”
“Pelukan hangat itu, mampu meruntuhkan pertahanannya yang semakin hancur. Ia menangis dalam diam, menenggelamkan seluruh wajah sembabnya dalam pelukan seseorang yang ia cintai. Ia merekatkan pelukannya, seolah ia tak ingin seseorang yang ada di hadapannya menghilang bagaikan debu yang ditiup.”
“Aku harap...kau bisa membahagiakan Ahra. Sama seperti kau yang selalu membahagiakan aku selama aku berada di sisimu.”
Luhan tersenyum. “Tentu saja aku selalu berusaha membahagiakanmu, karena kau sahabatku.”
“Ya, sahabat. Aku memang sahabatmu, Luhan-ah...”
Dan desiran angin musim panas itu telah menjadi saksi untuk seorang gadis yang tengah berusaha melupakan perasaannya pada seseorang yang tengah memeluknya hangat.
~~~
“Aku percaya, suatu saat nanti, aku bisa melupakan perasaan ini. Dan memandangmu seperti sebelumnya, seperti saat di mana aku tak pernah menaruh perasaan ini padamu...”
FIN
Rabu, 10 Desember 2014
He's not for Me!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar