Jumat, 12 Desember 2014

Broken Angels


 
Tittle : Broken Angels
 
Cast : Im Jiyeon, Byun Baekhyun
 
Genre : Angst, Hurt ??
 
Author : Xiu Minhan
 
Note : Ini FF yang muncul secara mendadak XD Please don't be a plagiator!! Thanks for read
 
 
= Happy Reading =
 
 
Jiyeon's POV
 
 
"Jiyeon! Jiyeon!"
 
Aku menoleh dan melihat temanku menaikkan sebelah alis padaku, tidak-menaikkan sebelah alis menggodaku sembari menatap lelaki berambut blonde yang baru saja berjalan menjauh dengan diiringi tatapan gadis dari kelas lain, terkagum karena eksistensinya.
 
 
"Hhh.." Aku mendesah nafas berlebihan, lagi-lagi begitu. Kusikut Yunji, nama temanku yang tadi lalu duduk di sebelahnya, "Sudah kubilang aku tidak menyukainya.." keluhku.
 
 
Yunji tersenyum menggoda, "Benarkah?"
 
 
Aku menarik rambut gadis di depanku dengan sedikit kesal lalu tertawa dan mengangguk.
 
 
"Padahal kalian cocok.." ujar Yunji,
 
 
Aku tersenyum, memang, banyak yang bilang kami berdua cocok. Dia -Byun Baekhyun, dan aku-Im Jiyeon- adalah pasangan serasi. Menurut mereka, tetapi tidak menurutku. Aku menarik nafas menyadari lagi-lagi, aku memikirkan hal ini.
 
 
"Yunji..?"
 
"Ya?"
 
"Bisakah kita berhenti membahasnya?"
 
Yunji lagi-lagi menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa?"
 
"Aku hanya tidak suka, oke?"
 
Gadis itu menghela nafas kecewa, "Yah~ Baiklah!"
 
 
Bel sekolah sudah berdenting beberapa menit yang lalu, aku berdiri di depan gerbang, menunggu ayahku menjemputku. Biasanya beliau selalu terlambat, jadi kumaklumi sajalah meski aku harus sendirian menunggunya.
 
"Yeonnie?"
 
Panggilan familiar itu.. aku menoleh ke belakang, "Hai! Baek!"
 
Baekhyun, pemuda berambut blonde yang acapkali kusebut namanya mendekat, "Kau menunggu jemputan lagi?"
 
Aku terkekeh, "Bisakah kau berhenti menjadi Shinichi Kudo dan berhenti menebakku dengan benar?"
 
Baekhyun tertawa, wajah dan tingkahnya yang ekspresif selalu enak dipandang.
 
"Yeonnie, bagaimana kalau kau menunggu di seberang sana saja?"
 
Baekhyun menunjuk sebuah bangku di bawah pohon sakura yang bermekaran, aku mengiyakan, aku memang cukup lelah hari ini.
 
 
"Kenapa kau tidak pulang sendiri, Yeon?"
 
"Tidak apa-apa.." ucapku begitu kami sudah duduk di bangku, ia meletakkan tasnya diantara kami, aku menundukkan kepalaku.
 
"Jangan berbohong, Yeon.."
 
Aku menggeleng, "Aku tidak berbohong. Aku hanya berpura-pura tidak tahu alasannya, Baek.."
 
"Omong-omong, tadi aku melihatmu dengan Yunji, apa kalian sedang membicarakanku?"
 
Aku diam sejenak sebelum mengangguk, "Hanya sedikit.."
 
"Apa yang kalian bilang? Apa ia memujiku tampan?" tanya Baekhyun dengan percaya diri, sungguh, pemuda itu memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi dimataku.
 
"Hmm.." aku bergumam tidak jelas.
 
Dapat kurasakan pemuda di sampingku menatapku lekat, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain agar ia tidak melihat wajahku, "Kenapa sedih?" tanyanya.
 
Tepat. Dugaannya tepat, dengan cepat, aku memasang senyum lalu berdiri karena mobil jemputanku sudah datang, "Maaf, Baek.. kurasa aku harus pergi dulu."
 
Baekhyun tersenyum kecewa, mengambil tasnya dan ikut berdiri, "Hati-hati di jalan, Yeonnie.."
 
Aku berlalu pergi tanpa membalasnya.
 
 
"Paman Shin?" tanyaku terkejut begitu melihat siapa pengemudi mobil yang menjemputku, padahal, biasanya ayah.
 
"Annyeong, nona.." sapa Paman Shin ramah.
 
"Dimana ayah?" tanyaku cemas. Bukankah ayah berjanji ia akan menjemputku hari ini?
 
"Beliau ada rapat dengan dewan direksi dan memintaku menjemputmu, nona.."
 
Aku menutup mata, ayah, harus berapa kali aku mengingatkanmu agar tidak melanggar janjimu?
 
Pintu mobil terbuka dan aku masuk ke kursi belakang, "Bisakah kita mampir ke makam ibu?"
 
"Ke makam nyonya besar? Sekarang?"
 
"Iya.."
 
 
Makam ibu terletak di atas bukit, jauh dari perkotaan, suasananya asri dan nyaman. Aku berjalan mendekat, Paman Shin menunggu di mobil yang diparkir beberapa meter tidak jauh.
 
 
Gundukan makam itu sudah mulai ditumbuhi rumput liar, aku mencabutinya hingga bersih, meletakkan mawar -bunga kesukaan ibu- yang tadi kubeli ditengah perjalanan.
 
"Bagaimana kabarmu, ibu?" aku mengelus nisannya yang masih bersih.
 
"Bu, aku ingin melihat wajahmu.."
 
"Aku ingin merasakan hangatnya pelukanmu.."
 
"Bu, aku bahkan tidak sempat membahagiakanmu.."
 
"Kenapa kau pergi secepat ini?"
 
Mataku mulai panas, rasanya aneh berbicara pada nisan, tidak ada yang menjawab, tapi setidaknya rasa sakit yang membebani dadaku berkurang sedikit, "Bu, tahu tidak, ayah benar-benar sibuk semenjak ibu meninggal.."
 
Aku memeluk nisan ibu, terisak sebentar, "Bu, aku merindukanmu, bu.."
 
"Nona?"
 
Kudengar suara Paman Shin memanggilku, segera kuusap airmata yang masih basah di pipiku lalu menyahut, "Ya, paman?"
 
"Anda harus pulang sekarang, tuan akan segera datang.."
 
"Baiklah.."
 
Hanya sedetik, aku hanya butuh sedetik sebelum tangisku kembali pecah, kupeluk nisan ibu erat-erat lalu mengucapkan kata sayangku yang tidak pernah didengarnya selama ia masih bernafas. Aku selalu menyesal tidak dari dulu mengucapkannya.
 
 
Di dalam mobil, aku mengutak-atik ponselku, menekan-nekan sebuah nomor yang sudah kuhafal mati.
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Baek ~ ^^
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Ya?
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Kau sedang apa?
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Memainkan piano ^^
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Kalau kau memainkan piano, bagaimana kau bisa mengirimiku pesan?
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Aku memainkan piano di hatiku sementara tanganku mengetik pesan untukmu.
 
 
Aku tertawa kecil menatap balasannya, mobil berbelok dan memasuki perumahan yang dipenuhi rumah-rumah besar dan megah. Aku menyurukkan ponselku ke dalam saku begitu melihat rumahku sudah dekat. Rumah itu besar, tetapi sepi. Paman Shin membukakan pintu mobil untukku segera setelah kami berhenti, padahal ia tahu, aku bisa membuka pintu mobil sendiri, "Terima kasih.." ucapku.
 
 
Tasku kuhempaskan begitu saja diatas sofa, tepat di sebelah ayah yang sedang membaca koran. Ayah mengalihkan konsentrasinya dan menatapku, "Jiyeon.."
 
"Ayah bilang ada pertemuan.."
 
"Memang. Pertemuannya baru saja selesai.."
 
"Tapi aku bahkan tidak lama mengunjungi makam ibu, secepat itukah? Harusnya kau menjemputku.."
 
"Jiyeon. Dengar, ayah tahu ayah sudah berjanji, tapi-"
 
Aku menghentakkan kakiku dengan marah, "Berhentilah mengucapkan kata TAPI!!"
 
Amarahku rupanya tidak semudah itu mereda karena aku segera berlari ke kamarku dan membanting pintu kamarku keras-keras, begitu memastikan pintunya sudah terkunci, aku bersandar, terduduk, lalu menangis.
 
 
Malamnya, aku tidak turun untuk makan, tidak turun untuk minum, atau untuk apapun, pintu kamarku terkunci sejak aku pulang sekolah, aku benar-benar lapar, tapi rasa marahku dengan sigap selalu menguasaiku.
 
 
Ponselku bergetar , aku segera mengambilnya, begitu aku membungkuk, kurasakan perutku begitu sakit, "Sialan!" umpatku. Aku terkena maagh karena belum makan sejak tadi pagi.
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Kau sudah makan? Makanlah sebelum kau sakit.
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Ya.
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Kenapa kau tidak makan?
 
 
Aku menyandarkan bahuku di dinding, pemuda satu itu memang selalu menebakku dengan benar.
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Kenapa kau selalu bisa menebakku dengan benar?
 
 
From: Byun Baekhyun
 
Aku sudah mengenalmu setahun lebih, ingat?
 
 
Pesan Baekhyun mengingatkanku, benarkah aku sudah mengenalnya selama itu?
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Maaf , Baek! Aku tidak ingat ^^
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Sungguh? Pelupa sekali!! ^^
 
 
Bertukar pesan dengannya membuatku merasa sedikit lebih tenang meski aku masih marah pada ayahku.
 
 
To : Byun Baekhyun
 
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Omong-omong. Ayo keluar bersamaku.
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Kapan?
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Sekarang^^
 
 
To : Byun Baekhyun
 
Semalam ini?
 
 
From : Byun Baekhyun
 
Jangan menolak karena aku sudah berada di depan rumahmu.
 
 
Mataku terbelalak, aku segera bangkit dari dudukku, ough, perutku sakit sekali. Bahkan mendekat ke jendela saja rasanya perih. Begitu kaca jendela kubuka, Baekhyun melambaikan tangannya, "Hei!! Turunlah!!"
 
 
Kami makan di sebuah restoran tidak jauh dari rumahku, ayahku tidak ada di rumah jadi kemungkinan besar ia tidak akan tahu, aku memesan sebuah bibimbap dan memakannya dengan lahap sementara Baekhyun -lagi-lagi- menatapku. Aku mendongak, ketika mata kami bertatapan, hanya sedetik, aku mengalihkan pandanganku, bukannya aku membencinya, hanya saja ada sesuatu di mata Baekhyun yang membuatku merasa aneh.
 
 
"Kenapa menatapku?" tanyaku sembari meneruskan makan,
 
"Tidak apa-apa.."
 
"Kenapa kau tadi tiba-tiba berada di rumahku?"
 
"Hanya mendapat firasat kau tidak makan dengan baik.."
 
Aku tersedak, Baekhyun menyodorkanku minumnya, "Makan pelan-pelan.."
 
"Jangan seperti ini, Baek, kumohon.."
 
"Wae?"
 
"Tidakkah kau risih banyak yang menganggap kita memiliki hubungan spesial?"
 
Ketika kutatap sejenak dirinya, dapat kulihat matanya merenung, sendu dan sedih. Mendadak, aku merasa bersalah, "Maaf.."
 
Tidak lama kemudian, Baekhyun kembali tersenyum dan ceria, "Lalu kenapa? Masa bodoh dengan mereka.."
 
Aku tersenyum, "Ya, tapi bagiku itu masalah, Baek."
 
"Kenapa?"
 
"Karena aku .."
 
Kata-kataku terputus begitu menyadari apa yang hendak kukatakan. Karena aku tidak pernah menyukaimu.
 
"Karena kau apa?"
 
Aku menggelengkan kepalaku, "Tidak. Lupakan saja."
 
 
Baekhyun mengantarku pulang ketika aku sudah menghabiskan bibimbapku, ia membayariku meski aku menolak.
 
"Yeonnie?"
 
Aku diam dan tetap melangkah menuju rumahku, mengabaikannya, kalau boleh jujur, aku benci ia memanggilku seperti itu, rasanya kekanak-kanakan,
 
"Yeonnie?"
 
Masih tetap diam dan melangkah.
 
"Yeonnie?"
 
"Yeonnie?"
 
"Yeonnie?"
 
"Im Jiyeon?"
 
"Im Jiyeon?"
 
"Im Jiyeon?"
 
Aku berhenti, "Tidak bisakah kau diam, Baek?"
 
"Aku hanya hendak mengatakan sesuatu, Yeon.."
 
"Apa?"
 
"Apakah kau menyukaiku?"
 
Aku menarik nafas sebelum mengutarakan jawabanku dengan tegas. Tidak.
 
Baekhyun terlihat sangat kecewa, tapi ia tetap tersenyum. Ia tersenyum. Kecuali matanya. Matanya tidak ikut tersenyum, "Baguslah setidaknya sekarang aku sudah tahu, Yeon! Aku akan pulang dari sini. Bisakah kau berhati-hati?"
 
Aku menunjuk rumahku yang tinggal beberapa langkah lagi dengan dagu, "Bagaimana menurutmu?"
 
"Baguslah. Aku pergi dulu."
 
 
Semenjak kejadian itu. Tidak ada telepon atau pesan darinya selama tiga hari. Aku tidak berniat mengiriminya pesan terlebih dahulu. Tidak. Tapi ada rasa kosong dan sepi yang menyayat hatiku. Begitu dalam bahkan lebih dari ketika aku merindukan ibuku. Malam-malam berikutnya kuhabiskan dengan menghindari ayahku dan berdiam diri dibalik selimutku.
 
 
"Jiyeon?"
 
Yunji menepuk pundakku, aku menggeleng-gelengkan kepalaku yang sejak pelajaran ketiga tadi terkantuk-kantuk, "Ya?"
 
"Ikut aku sebentar.."
 
Ia menarikku bangkit sementara aku mengikutinya dengan malas, "Kemana? Ke Toilet?"
 
"Tidak.."
 
Kami berdua menuju ruang musik. Ruangan itu dipadati oleh siswa siswi dari kelas lain maupun kelasnya, Jiyeon menaikkan sebelah alishnya penasaran, Ada apa?
 
 
Setelah berusaha keras menembus kerumunan, ia akhirnya dapat melihat siapa yang menyebabkan kehebohan ini. Byun Baekhyun.
 
 
Jiyeon's POV End
 
 
I often close my eyes
 
And I can see you smile
 
You reach out for my hand
 
And I'm woken from my dream
 
Although your heart is mine
 
It's hollow inside
 
I never had your love
 
And I never will
 
 
And every night
 
I lie awake
 
Thinking maybe you love me
 
Like I've always loved you
 
But how can you love me
 
Like I loved you when
 
You can't even look me straight in my eyes
 
I've never felt this way
 
To be so in love
 
To have someone there
 
Yet feel so alone
 
Aren't you supposed to be
 
The one to wipe my tears
 
The on to say that you would never leave
 
The waters calm and still
 
My reflection is there
 
I see you holding me
 
But then you disappear
 
All that is left of you
 
Is a memory
 
On that only, exists in my dreams
 
 
I don't know what hurts you
 
But I can feel it too
 
And it just hurts so much
 
To know that I can't do a thing
 
And deep down in my heart
 
Somehow I just know
 
That no matter what
 
I'll always love you
 
So why am I still here in the rain
 
 
Pemuda itu menyanyi sekaligus bermain piano dengan tatapan sendu. Jiyeon terdiam, terdengar suara gemericik hujan di luar. Gadis itu menghentakkan kakinya lalu berlari pergi diiringi dengan tatapan Baekhyun. Mata pemuda itu terlihat sangat menyedihkan.
 
 
"Jiyeon.."
 
Yunji mendekati Jiyeon yang menangis di ujung tangga sejak ia berlari dari ruang musik.
 
"Yunji.."
 
Jiyeon terisak sementara Yunji menepuk-nepuk pundaknya, "Sabarlah.."
 
"Kenapa ketika Baekhyun menyanyi, rasanya begitu sakit? Kubilang aku tidak menyukainya, lalu kenapa aku menghafal nomornya? Kenapa aku merasa tenang setelah mengiriminya pesan. Bahkan ketika kami tidak berkomunikasi, aku seperti kehilangan tenagaku?"
 
"Ssh.." Yunji kembali menepuk-nepuk pundak Jiyeon,
 
Diluar dugaan, isakan Jiyeon justru semakin menjadi, "Kenapa rasanya begitu sakit?"
 
"Ssh.." Yunji kali ini memeluk Jiyeon hingga ia tenang. Dari kejauhan, Baekhyun menatap Jiyeon dengan sedih.
 
 
Jiyeon meletakkan tasnya di sofa lalu menghempaskan dirinya, ia tidak memiliki tenaga untuk ke kamarnya.
 
"Jiyeon.."
 
Suara berat memanggilnya, ia membuka matanya yang ia pejamkan, "Ayah?"
 
"Kau sakit?"
 
Jiyeon menggeleng, "Tidak.."
 
"Mau ikut ayah?"
 
"Kemana?"
 
"Makan malam bersama kolega ayah.."
 
"Kenapa?"
 
Tidak biasanya ayahnya mengajaknya makan malam bersama koleganya.
 
"Ayah ingin mengajakmu bertemu dengan seseorang.."
 
"Aku sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun.."
 
"Ayolah, Jiyeon.."
 
Dengan malas, Jiyeon bangkit, "Baiklah.."
 
 
Mereka pergi ke sebuah restoran mewah. Restoran itu membuat Jiyeon terdiam. Restoran yang pernah ia kunjungi bersama Byun Baekhyun.
 
 
Memasuki restoran, keduanya berjalan menuju tempat yang telah dipesan ayahnya. "Memang kita mau bertemu dengan siapa?"
 
"Calon ibumu.."
 
Jiyeon terdiam. Apa ia salah dengar?
 
"Siapa?"
 
"Sebentar lagi kau juga akan tahu."
 
Entah kenapa mendadak firasat Jiyeon memburuk.
 
"Ah, itu dia!" Ayahnya berdiri sembari menunjuk seorang wanita dengan gaun abu-abu, dibelakang wanita itu menyusullah seorang pemuda. Mata Jiyeon seketika membelalak menatap pemuda di belakang wanita tadi. Byun Baekhyun. Pemuda itu mengenakan jas putih, celana putih, semuanya serba putih. Tapi tidak ada senyum melekat di wajahnya. Yang ada hanya tatapan datar -dan pucat. Apakah ia sakit?
 
 
"Im Joo Hwan.." ujar wanita tadi begitu ia dan ayahnya bertemu, Jiyeon tidak terlalu memperhatikan karena ia memandangi Baekhyun yang menunduk dengan tatapan sendu, ia mengkhawatirkan Baekhyun yang pucat pasi, "Baekhyun.." mata Baekhyun dan mata Jiyeon bertemu. Baekhyun terkejut sementara Jiyeon tersenyum trenyuh. Hatinya begitu sakit.
 
 
Keempatnya duduk dengan situasi canggung.
 
"Baekhyun.." ibu Baekhyun memulai pembicaraan.
 
"Ya, Ibu?"
 
"Kau sudah tahu tidak alasan ibu mengajakmu kesini?"
 
"Tidak." jawab Baekhyun datar sembari berkonsentrasi makan.
 
"Pria ini adalah Im Joo Hwan, calon ayah barumu.."
 
Garpu Baekhyun berdenting karena ia letakkan begitu saja, ia mendongak dan menatap Jiyeon. Apakah.. Jiyeon akan menjadi saudaranya? Jiyeon menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Suara kursi berderit membuat ibu Baekhyun menciut, anak lelakinya bangkit dengan kasar lalu berjalan cepat keluar dari restoran.
 
"Baekhyun!"
 
"Biar aku saja, bibi.." Jiyeon menawarkan diri lalu bangkit dan mengejar Baekhyun.
 
 
Dimana ia harus mencari Baekhyun? Jiyeon menoleh ke kanan dan ke kiri, ia tidak tahu kemana ia harus pergi hingga..
 
 
BRAKK!!
 
 
Terdengar suara besi beradu dengan tulang dan seorang wanita berteriak memekakkan telinganya. Jiyeon menoleh, sangat terkejut dengan apa yang dipandangnya. Lututnya gemetar, ibu Baekhyun dan ayahnya beserta beberapa pengunjung restoran keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ibu Baekhyun lemas dengan apa yang ia lihat. Byun Baekhyun. Terbujur kaku. Dengan darah membasahi baju putihnya. Malaikat Jiyeon. Jiyeon meneteskan air matanya. Malaikatnya terluka.
 
 
Paramedis datang tidak lama kemudian, ayah Jiyeon menyetir, membawa ibu Baekhyun ke rumah sakit sementara Jiyeon menemani Baekhyun.
 
 
"Jangan pergi. Kumohon, Baek. Kau harus bertahan." pinta Jiyeon.
 
Mata Baekhyun perlahan terbuka, sebuah senyum terukir di wajahnya, "Rasanya sakit sekali.."
 
Jiyeon menatap pelipisnya yang berdarah serta beberapa bagian tubuhnya memar, mungkin saja tulang rusuknya patah, "Baek, bertahanlah.."
 
Baekhyun mengeluh kesakitan, tanagan Jiyeon menggenggam erat tangannya, "Bisakah kau menjwabku ketika aku memanggilmu?" tanya Baekhyun.
 
Jiyeon mengangguk panik, "Iya, Baek. Mau berapa kalipun kau memanggilku, aku akan menjawabmu berkali-kali juga."
 
"Jiyeon?"
 
"Ya?""Jiyeon?"
 
"Ya?"
 
"Jiyeon?"
 
"Ya?"
 
"Jiyeon?"
 
"Ya?"
 
"Aku.. mencintaimu.." ucap BAekhyun terpatah-patah,
 
"Baek.."
 
"Tolonglah.. jaga ibuku.."
 
"Baek.."
 
Jiyeon memanggil-manggil nama Baek dengan suara hancur, tidak hanya suaranya, hatinya sepenuhnya hancur. Malaikatnya terluka.
 
 
Malam itu. Pukul 20.43, Byun Baekhyun menghembuskan nafas terakhirnya. Pada hari itu juga, Im Jiyeon kehilangan hartanya yang paling berharga. Malaikatnya yang paling berharga.
 
 
<DRAFT>
 
 
To : Yeonnie
 
Aku mencintaimu.
 
 
To : Yeonnie
 
Tell me the story of how the sun loved the moon so much, he died every night to let her breathe. Coba ceritakan padaku kisah tentang Matahari yang sangat mencintai Bulan, ia mematikan sinarnya tiap malam agar Bulan bisa bersinar.
 
 
To : Yeonnie
 
..and every night..
 
I lie awake, thinking maybe you loved me like i was always loved you..
 
But how can you love me like i was always loved you when you can't even look me straight in my eyes?
 
Dan tiap malam.. Aku terbaring, memikirkan apa kau mencintaiku seperti aku selalu mencintaimu.
 
Tapi bagaimana bisa kau mencintaiku seperti aku mencintaimu ketika kau bahkan tidak bisa melihatku langsung dimataku?
 
 
<INBOX>
 
 
From : Yeonnie
 
Aku tahu pesan ini tidak akan pernah kau balas. Tentu saja. Karena kita berada di dua alam yang berbeda. Aku menjaga ibumu, menyayanginya seperti ibuku sendiri. Dan.. aku mencintaimu.
 
 
.
 
 
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar