Kamis, 11 Desember 2014

It Is Not Crazy Anymore

Author: Kee-Rhopy
Cast: Kim Jongin,Lee Hye Jin, And others
Genre: Romance and others

Happy Reading!!__

Life must go on.
Setidaknya kalimat itulah yang membuatku mampu melewati semuanya. Melewati penyesalan yang sampai sekarang masih kurasakan. Setidaknya aku bisa bertahan, bahkan setelah 7 tahun berlalu sejak kepergian Kim Jong In dari hidupku. Aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Tahu tentang kabarnya saja tidak. Mengorek informasi dari Chanyeol? Percuma. Pada Chanyeol yang sahabat dekatnya saja dia tak memberi kabar, apalagi padaku yang notabene tak berstatus apa-apa. Kehidupan SMA-ku sudah berakhir sejak 7 tahun yang lalu. Kini aku disibukkan dengan kegiatan sebagai seorang dokter. Yeah, sejak kepergian Jong In aku memutuskan untuk fokus pada pendidikanku. Hal itu ternyata bisa mengalihkan perhatianku tentangnya. Dan pada akhirnya sekarang aku berstatus sebagai dokter anak di Seungwon University Hospital.Menguntungkan, bukan? Kepergian Jong In malah memotivasiku untuk bisa masuk jurusan yang terbilang sangat sulit ditempuh. Tapi TIDAK!! Menurutku itu bukan hal yang menguntungkan sama sekali. Hatiku terasa kosong tanpanya. Aku tak bisa melupakan Jong In sepenuhnya. Akibatnya aku tak pernah menerima satupun ajakan kencan dari pria-pria yang menyukaiku. Apa aku terlalu setia? Tidak juga. Hanya saja aku masih belum bisa membuka hatiku untuk orang lain. Dan penyebabnya hanya satu, Kim Jong In. Seharusnya aku tak seperti ini. Akan membahagiakan jika ternyata Jong In masih mencintaiku dan tak punya kekasih. Tapi jika dia sudah melupakanku dan mempunyai kekasih? Oh, itu skenario terburuk. Kenyataan bahwa aku belum bisa melupakannya akan membuatku semakin terlihat menyedihkan. _________________ .-------------------- .Aku menghembuskan napasku keras tatkala menghadapi seorang anak umur 5 tahun merengek, menolak untuk minum obat. In Yeong-ah, kau harus minum obat agar cepat sembuh, mungkin kalimatku terdengar umum, tapi hari ini aku benar-benar lelah dan tak punya persediaan kalimat yang lebih bermutu lagi. Tidak mau. Pamanku sudah berjanji akan menemaniku minum obat. In Yeong gadis kecil pasienku ini malah langsung mengatupkan mulutnya rapat setelah mengucapkan kalimat itu. Ya Tuhan, kenapa anak kecil sangat sulit ditangani?Lagi-lagi aku menghela napas, kemudian melirik Suster Seo yang sedari tadi berdiri di sampingku. Seharusnya dia yang membujuk In Yeong, tapi karena sulit akhirnya dia memintaku membantunya. Yeah, salahkan semua orang  yang terlalu sibuk sehingga membuatku mau tak mau harus membujuk anak kecil ini untuk minum obat. Dia selalu menunggu pamannya.Kalau begitu kapan pamannya akan datang? tanyaku pada suster Seo.Kulihat suster Seo melihat jam di pergelangan tangannya, seharusnya dia sudah datang 30 menit yang lalu.Aku menghela napas, lalu melirik In Yeong yang tetap menutup mulutnya rapat-rapat. Anak kecil memang sulit untuk ditangani, tapi mau bagaimana lagi? In Yeong-ah, kau menunggu pamanmu?In Yeong mengangguk lucu, membiarkan rambutnya yang tergerai ikut bergerak mengikuti arah anggukannya.Bagaimana kalau kau minum obat dulu? Kalau kau belum minum obat sampai saat ini, pamanmu akan sedih, ucapku mencoba membujuknya.Pamanku tidak pernah sedih. Dia paman terkuat sedunia.Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Anak kecil sangat pintar mengelak. Bagaimana kalau paman marah karena In Yeong belum minum obat?Marah? Meskipun dia selalu marah pada sekertarisnya, dia tidak pernah memarahiku.Sedih tidak bisa, marah juga tidak bisa. Apa yang akan kukatakan selanjutnya? Tapi kenapa anak ini sangat tergantung pada pamannya? Kemana ayah dan ibunya?Suster Seo, sepertinya persediaan kalimat bujukanku sudah habis. Mungkin kita memang harus menunggu pamannya datang.Suster Seo mengangguk mengiyakan. Aku hanya menatapnya, lalu memandang In Yeong yang masih mengatupkan mulutnya rapat. In Yeong-ah, berjanjilah untuk minum obat setelah pamanmu datang, ok? kataku sambil tersenyum padanya. Dia hanya mengangguk lucu. Pipinya benar-benar chubby. Membuatku tak tega untuk memaksanya terlalu jauh. Kuacak rambut panjangnya.Namun tiba-tiba mata sipitnya melebar senang memandang objek di belakangku seraya berkata, oh, itu paman sudah datang! serunya dengan senyum mengembang. Benark seketika itu juga bibirku mengatup rapat, tepat saat aku menoleh untuk melihat siapa sosok paman In Yeong sebenarnya. Ya Tuhan, aku tidak bermimpi, kan?Dia mendekat ke arah kami aku dan In Yeong. Dia terus melangkah mendekat dengan senyum mengembang ke arah In Yeong. Dan dia belum menyadari keberadaanku, bahkan saat posisinya tepat di sampingku. Aku hanya terpaku menatapnya yang tengah tersenyum ke arah In Yeong. Duniaku seolah berhenti, dia mejadi objek tatapanku satu-satunya saat ini. Benarkah orang yang berdiri di hadapnku saat ini adalah dirinya?Paman Jong In kemana saja? Dari tadi dokter ini membujukku untuk minum obat. Tapi karena paman belum datang, aku menolaknya.Dia hanya tersenyum pada In Yeong, kemudian perlahan menolehkan arah pandangannya menghadapku. Seketika itu juga tatapan mata kami bertemu untuk ketiga kalinya. Senyumnya yang tadi masih menghiasi wajahnya tiba-tiba hilang. Dia tak mengeluarkan sepatah katapun. Mungkin terkejut saat melihatku. Kalau boleh berharap, bisakah aku menganggap tatapannya masih sama seperti tujuh tahun yang lalu?Lee Hye Jin?_________________ .-------------------- .Dan di sinilah kami sekarang. Duduk berhadapan di kantin rumah sakit. Tak ada yang bersuara meskipun 5 menit telah berlalu. Tak sedetikpun kulewatkan untuk tak memandangnya, memperhatikannya. Kurasa air mataku mendesak untuk keluar. Bagaimana tidak? Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat. Terlebih ditambah dengan kenyataan bahwa aku yang tak pernah bisa menghapus perasaanku. Aku masih mencintainya.Aku mengalihkan pandanganku saat dia mendongak dan tak sengaja memandangku. Kutarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Mencoba sekeras mungkin untuk menguatkan hatiku dan menahan air mataku. Ya Tuhan, kumohon, biarkan aku menangis saat dia sudah tak di hadapanku. Bagaimana kabarmu, Hye Jin-sshi? dia membuka suara.Aku tak beralih memandangnya, sedikit kecewa dengan tambahan sshi yang diucapkannya di belakang namaku. Kenapa dia tidak lagi memanggilku dengan panggilan Hye Jin-ah? Lee Hye Jin, kau baik-baik saja?Aku gelagapan mendengar suaranya lagi. Segera kuanggukkan kepalaku, aku baik-baik saja. Seperti yang kau lihat, Kim Jong In. Lalu bagaimana denganmu?Dia tersenyum. Dan aku berani bersumpah bahwa senyumnya terlihat sangat.... entahlah. Aku juga baik-baik saja. Kau bekerja di sini?Begitulah. Lalu bagaimana denganmu? Kapan kau kembali? tanyaku lagi. Sangat banyak yang ingin kutanyakan padanya. Tapi satu-satunya hal yang paling ingin kuungkapkan hanya satu, kata maaf. Aku ingin minta maaf karena tak mengakui perasaanku saat itu. Aku ingin mengatakan bahwa aku menyesal.Aku kembali sejak 4 bulan yang lalu, ya, karena In Yeong memintaku untuk kembali ke sini. lagi-lagi seorang Kim Jong In tersenyum. Membuatku setengah mati menahan haru. Tak pernah kusangka akan bertemu dengannya lagi. Tuhan, terima kasih telah mempertemukanku dengannya. Setidaknya aku bisa melihatnya lagi setelah sekian lama. Aku tersenyum memandangnya bercerita panjang lebar tentang In Yeong. Ternyata In Yeong adalah anak dari sepupunya yang telah meninggal dunia karena kecelakaan. Hal itu membuat ia dan ibunya menjadi wali anak itu. Caranya bercerita tentang In Yeong sungguh berhasil membuat lelahku lenyap. Entah ini karena efek ceritanya yang menarik atau lebih karena aku merindukan suaranya. Aku tak tahu. Yang jelas, berhadapan dengannya saat ini, mendengar suaranya, memandang wajahnya yang tersenyum, seperti mimpi bagiku. Aku bahkan mencubit lenganku berkali-kali untuk memastikan bahwa ini benar-benar nyata. Dan tanpa sadar, setetes air mata jatuh membasahi pipiku. Hye Jin-sshi, kau menangis? pertanyaannya membuatku refleks menghapus air mata yang entah kapan telah mengaliri pipiku. Dia memandangku khawatir.Oh, tentu saja tidak. Hanya saja mataku terasa agak perih, entah kalimat apa itu, aku tak punya ide lain. Kulihat dia hanya ber-oh ria sembari menyandarkan kembali punggungnya pada sandaran kursi. Ehm, Hye Jin-sshi, kau tidak sibuk? Sepertinya aku mengganggu pekerjaanmu, katanya lagi. Oh, tentu saja tidak. Tapi, aku menggantung kalimatku, menatapnya yang tengah menunggu kelanjutan pernyataanku dengan pandangan ragu, bisakah kau tidak berbicara formal padaku? Maksudku, rasanya agak aneh karena kita kenal satu sama lain.Baiklah, bagiku itu bukan hal yang sulit, ucapnya, lagi-lagi tersenyum. Setelah itu kami berdua bicara cukup panjang. Kami tertawa dan tersenyum bersama. Situasi ini masih sulit dipercaya, tapi aku tak mau memikirkannya lebih jauh lagi. Yang paling penting, aku sudah bertemu dengannya. Bertemu dengan Kim Jong In yang telah berevolusi, dari seorang preman sekolah menjelma menjadi seorang pengacara. Dia benar-benar berbeda. Dari segi penampilan yang tentunya beribu kali lipat lebih rapi dan lebih menarik dari tujuh tahun yang lalu, dari caranya bicara yang lebih sopan, dan dari caranya memandang. Dia, benar-benar lebih baik dari Jong In yang dulu kukenal sebagai preman sekolah.Perbincangan kami berakhir dengan saling bertukar kartu nama. Dan aku pulang ke apartemenku dengan senyum yang mengembang. Hari ini benar-benar membahagiakan._________________ .-------------------- .Kejadian di rumah sakit seminggu yang lalu itu membuat intensitas pertemuanku dengannya semakin bertambah. Sejauh ini aku bertekad tak akan melakukan hal yang akan membuatku menyesal. Ya, bila saatnya sudah tiba, aku akan mengatakan bahwa aku menyesal dan minta maaf. Lalu akan kukatakan bahwa aku menyukainya, dari dulu, sebelum ia pergi, dan sampai sekarang, detik ini. Untuk itu, aku harus melancarkan aksiku sebaik mungkin. Setiap pagi aku bahkan pergi menemui In Yeong, kalau tidak untuk mengecek keadaannya, aku hanya sekedar menyapa. Tak pernah absen. Itu kulakukan agar aku punya alasan untuk bertemu dengan Jong In setiap hari dan mengobrol dengannya. Aku tahu ini salah, tapi aku tak punya cara lain.Jika 7 tahun yang lalu Jong In yang berinisiatif mendekatiku, maka sekarang kebalikannya. Akulah yang terus-terusan mencoba lebih dekat dengannya.Saat ini aku tengah melangkahkan kakiku menuju ruangan tempat In Yeong dirawat. Kutengok jam tangan yang bertengger manis di pergelangan tangan kiriku. Seharusnya Jong In sudah datang 5 menit yang lalu. Dengan langkah ringan dan senyum yang tak hentinya menghiasi wajah, aku berjalan mendekati ruangan In Yeong yang sudah beberapa meter di depanku. Kutarik napas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan setelah sampai di depan ruangan In Yeong. Kupegang kenop pintunya dan kubuka perlahan. Seketika itu juga aku tersenyum mendapati Jong In telah duduk tepat di samping ranjang In Yeong. Rupanya mereka sedang berbicara dengan serius. Dan dari yang kudengar, bisa kupastikan kalau In Yeong memekik senang sementara Jong In hanya tersenyum menanggapinya. Baru saja aku berniat masuk, namun kata-kata In Yeong yang nyaring tertangkap daun telingaku.Kalau begitu aku harus memakai gaun yang bagus saat pesta pertunangan paman nanti. Kumohon belikan aku gaun baru... Suara In Yeong terdengar memohon. Tapi bukan itu yang membuatku menutup kembali pintu ruangan. Melainkan kata pertunangan yang baru saja In Yeong ucapkan. Jong In akan bertunangan? Benarkah? Aku terdiam tepat di depan ruangan In Yeong. Kenyataan ini terlalu mengejutkanku. Aku bahkan sudah merasakan mataku memanas. Bersiap untuk menumpahkan cairan bening itu.Tapi, paman. Bagaimana dengan dokter itu?Maksudmu?Maksudku, dokter yang sering datang ke sini untuk menemui paman. Ah, sebentar lagi pasti dia ke sini.Hye Jin?Ya. Sepertinya dia menyukai paman.Ah, kau ini. Mana mungkin?Lalu untuk apa dokter itu selalu ke sini saat paman datang? Padahal dia bukan dokter yang menanganiku.Pembicaraan mereka samar-samar masih bisa kudengar dengan jelas. Langsung saja aku berlari menjauh. Berharap dengan berlari aku bisa meredam air mataku agar tak keluar. _________________ .-------------------- .Sejak hari itu aku tak lagi menemui In Yeong. Tujuannya hanya satu, agar aku tak lagi melihat Kim Jong In. Mana mungkin aku mengharapkannya lagi sementara dia sudah sepenuhnya melupakan perasaannya terhadapku? Seharusnya aku sadar kalau tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat. Siapa yang mau menunggu cinta tanpa kepastian selama itu? Ya, siapa yang mau berharap pada sesuatu yang tak pasti? Kecuali aku. Aku yang dulu dengan mudah menolak kehadirannya, kini terpuruk karena saat dia kembali, aku tak punya kesempatan lagi. Tak punya kesempatan untuk memberitahunya tentang perasaanku. Saat ini aku melamun di cafetaria Rumah Sakit. Sendirian. Hanya ditemani secangkir teh hangat di hadapanku. Yang ada dipikiranku hanya satu, bagaimana caranya menghapus Kim Jong In dalam benakku? Tidak mungkin aku terus berharap pada seseorang yang sudah memiliki kekasih, bahkan akan bertunangan. Lee Hye Jin?!Aku terkesiap dengan suara yang memanggilku sehinggu aku refleks mendongakkan kepala, menghadap orang yang menyebut namaku. Dan aku mematung karena Jong In-lah yang ada di hadapanku.Boleh aku duduk di sini? tanyanya sopan.Aku tersenyum kikuk, kemudian mengangguk perlahan. Dadaku langsung bergemuruh hebat. Untuk mengatasinya, langsung saja kuminum teh yang masih hangat di atas meja. Akhir-akhir ini aku jarang bertemu denganmu. Kau sibuk?Be-begitulah. Aku mengiyakan pertanyaannya. Padahal aku sendiri yang berinisiatif menjauhinya. Tapi tak ada jalan lain selain berbohong.Karena kita sudah bertemu di sini, aku akan memberimu sesuatu. Jong In membuka tas yang dibawanya. Lalu mengeluarkan sebuah benda berbentuk persegi panjang. Dan perasaanku langsung tak enak setelah melihat benda yang kurasa adalah sebuah undangan. Apa itu undangan pertunangannya? Oh Tuhan, harusnya kau tak membiarkan Jong In menemuiku kali ini. Aku tak sanggup menerima undangannya.Dan benar saja. Aku tahu dengan jelas saat Jong In memberikan benda persegi panjang itu padaku. Sebuah undangan. Hatiku bergemuruh hebat. Dan kurasa cairan bening itu sudah bergumul di pelupuk mataku. Bersiap keluar.Itu undangan acara pertunanganku. Kuharap kau bisa datang, ucapnya kemudian. Aku menunduk. Sekuat tenaga menahan agar air mataku tak tumpah. Kuhembuskan napas keras. Kudongakkan kepalaku untuk menatapnya. Selamat atas pertunanganmu, Kim Jong In. Kurasa aku harus pergi sekarang, aku langsung berdiri dan melangkah menjauh tanpa meminta persetujuannya. Ini menyakitkan. Sungguh. Keadaannku benar-benar menyedihkan saat ini. Bagaimana mungkin aku masih mengharapkan orang yang jelas-jelas sudah memiliki kekasih dan bahkan akan bertunangan?!  Aku tak peduli dengan air mataku yang terus turun saat ini. tak peduli dengan tatapan-tatapan heran yang orang-orang berikan padaku saat aku melewati mereka. Aku terlalu sibuk menenangkan hatiku. ============= ___________________ Kalian tahu? Mencintai seorang Kim Jong In adalah salah satu hal gila yang pernah kulakukan. Aku menyukainya dan perasaan itu tak berubah sedikitpun. Aku sadar kalau semua ini adalah salahku. Seandainya aku mengatakan perasaanku yang sebenarnya 7 tahun lalu, ini tak akan terjadi. Meskipun pada akhirnya Jong In pergi, aku tak akan semenyesal ini karena membiarkan Jong In tahu perasaanku yang sebenarnya. Ah, sudahlah! Aku tak bisa selalu berpijak pada kata seandainya yang jelas-jelas tak akan pernah terjadi. Kini aku sadar kalau aku telah berharap pada suatu hal yang tak pasti selama tujuh tahun dan ternyata hasilnya hanya kesia-siaan belaka. Aku menghembuskan napas sembari terus melangkah. Menyusuri koridor rumah sakit yang semakin terasa panjang. Sesekali kualihkan pandangan ke arah lain. Berharap menemukan hal lain yang bisa mengalihkan pikiranku. Apa saja. Asalkan aku terhindar dari pemikiran tentang Kim Jong In yang akan bertunangan lima hari lagi. Hye Jin-ah!!Sebuah suara menghentikan langkahku. Dan aku langsung tahu siapa yang menyebut namaku barusan. Aku hafal suaranya. Bahkan bayangannya saat tersenyum msih tergambar dengan jelas dalam ingatanku.Aku menoleh, dan benar saja, Jong In melangkah mendekatiku. Kau akan pulang? tanyanya, ramah seperti biasa.Aku mengangguk dan kami melangkah bersama. Kau biasa pulang dalam keadaan larut seperti ini? tanyanya dengan nada suara yang terkesan khawatir. Oh, ayolah Kim Jong In. Bisakah kau tidak bertanya seperti itu agar aku tak lagi berharap padamu? Lagi-lagi aku hanya mengangguk menanggapi. Enggan bersuara.Dan kau baik-baik saja dengan hal itu?Aku menghela napas dan mengangguk. Tak sedikitpun terbersit dalam pikiranku untuk membalas pertanyaannya. Harusnya kau meminta keringanan untuk pulang lebih awal. Kau tahu? Akhir-akhir ini sering sekali terjadi kejahatan. Kurasa itu berbahaya untukmu. Aku hanya diam mendengar kalimat yang diucapkannya barusan. Dadaku tiba-tiba saja berdebar lebih kencang. Entah kenapa aku merasa dia terlalu perhatian padaku. Oh, tidak! Apa yang kupikirkan? Harusnya aku hanya menganggap kata-katanya sebagai bentuk peringatan untuk lebih berhati-hati. Tak terasa langkah kami telah sampai di lobi Rumah Sakit dan akan segera keluar dari bangunan ini. Segera kubelokkan tubuhku ke arah kiri, arah pulang menuju apartemen. Hye Jin-ah, kau yakin akan pulang sendiri?Aku berhenti melangkah dan menoleh ke arahnya. Kuanggukkan kepalaku dengan pasti. Kau yakin? sekali lagi dia terlihat khawatir. Ya Tuhan, kenapa aku merasa kalau dia masih memiliki perasaan itu untukku?Aku sudah terbiasa, jawabku akhirnya disertai dengan senyum yang mungin akan terlihat sedikit kaku.Kau yakin? Apa perlu kuantar?Oh, bahkan dia menawariku untuk pulang bersama. Jangan salahkan jika aku merasa perhatiannya terlalu berlebihan untuk saat ini.Tidak baik untuk seorang gadis sepertimu pulang selarut ini sendirian, lanjutnya lagi. Dan kali ini aku merasa harus bertindak. Aku harus tegas pada diriku sendiri. Ya, aku harus tegas.Akhirnya kulangkahkan kakiku mendekatinya, untuk apa kau mengajakku pulang bersama? jujur saja, aku merasakan sakit saat mengatakan hal itu padanya. Kalau aku diberi kesempatan untuk memilih, aku akan mengiyakan ajakannya. Tapi tidak! Biar bagaimanapun aku tak bisa membiarkan diriku jatuh lebih dalam lagi dengan perasaan ini.Te-tentu saja aku mengkhawatirkanmu.Untuk apa kau mengkhawatirkanku? tanyaku lagi. Kulihat dia diam. Mungkin bingung dengan pertanyaanku, atau malah bingung dengan jawaban apa yang akan ia berikan. Entahlah, aku tak tahu.I-i-tu....Aku memandangnya lekat. Kutarik napas dalam dan mengumpulkan segenap keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya. Aku ingin mengakhirinya saat ini. Sudahlah, Kim Jong In!Jong In menatapku heran. Berhentilah mengkhawatirkanku! Berhentilah bersikap baik padaku dan jangan pernah temui aku lagi! ucapku penuh penekanan. Kutatap sosoknya dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Sekuat tenaga aku memendungnya agar tak tumpah.Memangnya kenapa?Karena aku akan menganggapmu masih menyukaiku, sama seperti 7 tahun yang lalu. Jadi berhentilah untuk bersikap seolah-olah kau peduli padaku! jelasku. Habis sudah. Aku tak bisa lagi membendung air mataku. Aku menangis di depannya.Hye Jin-ah, k-kau... menyukaiku?Aku tak segera menjawab. Kutatap dia dengan lekat, aku menyukaimu. Aku tahu aku terlambat. Seharusnya aku mengakuinya 7 tahun yang lalu. Jadi kumohon padamu, mulai sekarang bersikaplah seolah-olah kau tidak mengenalku. Dengan begitu aku akan lebih mudah melupakanmu.Aku menundukkan kepalaku. Aku tak peduli jika aku terlihat lemah di matanya. Segera kubalikkan badan, bermaksud untuk melangkah menjauh, namun tangannya menahan pergelangan tanganku.K-kau, benar-benar menyukaiku?Aku diam. Tak sanggup berkata-kata lagi.Kenapa kau baru mengatakannya? tanyanya lagi.Aku masih diam. Tak tahu apa yang harus kujawab.JAWAB AKU, LEE HYE JIN!!! dia berteriak, membuatku mau tak mau menatapnya yang juga tengah menatapku. Aku tak tahu apa arti tatapannya. Napasnya memburu.AKU MENYUKAIMU KIM JONG IN!!! kataku dengan suara lantang. Kau puas? Kenapa kau baru mengatakannya? tanyanya dengan suara yang terdengar lemah. Andai kau mengatakannya lebih awal, mungAku tak akan menyuruhmu untuk menyukaiku lagi, potongku cepat sebelum semuanya bertambah rumit. Aku tak mau lagi terjerat pada perasaan yang terbalas sia-sia ini. Dan aku harus mengakhirnya. Acara pertunaAku akan menghadirinya, tegasku.Jong In mendongak menatapku, Hye Jin, k-kau....Aku akan berusaha keras menghapus perasaan ini. Ah, kenapa aku baru melakukannya sekarang?! Harusnya aku tahu kalau hal ini akan terjadi. Tidak mungkin kau masih mengharapkanku. Dan aku cukup tahu diri untuk mundur. Kuharap kau tak bahagia dengan kekasihmu. Jangan pernah meninggalkan dia.Aku segera melangkahkan kakiku menjauhi sosok Jong In yang terdiam di tempatnya berdiri. Berjalan sangat pelan dengan air mata yang tak hentinya mengalir. Setidaknya aku sudah mengungkapkan isi hatiku padanya. Setidaknya aku sudah berkata bahwa aku menyukainya.=============== _____________________ Setelah kejadian itu, aku tak lagi bertemu dengannya di Rumah Sakit. Tak lagi pergi menemui In Yeong yang kutahu dalam waktu dekat ini tidak akan menjalani rawat inap lagi. Aku sudah cukup terpuruk dengan keadaanku sekarang. Jadi aku memfokuskan perhatianku pada pekerjaan. Bekerja tak kenal lelah dan tak kenal waktu. Aku tahu itu salah. Tapi tak ada lagi yang bisa kulakukan. Jika aku membiarkan diriku tak melakukan apapun, aku akan mengingat sosoknya lagi. Aku berusaha sekuat tenaga agar terlihat biasa. Dan seharusnya juga terlihat biasa hari ini, tepat di hari pertunangan Jong In. Kini aku beridiri di tengah-tengah kerumunan orang yang menghadiri acara ini. Terlihat sangat ramai. Gelak tawa terdengar dimana-mana. Kontras sekali dengan keadaan hatiku yang kacau. Keadaan ini malah tak bisa berkonsentrasi dengan acara ini. terlalu ramai, dan sialnya diantara orang-orang ini tak ada satupun yang kukenal. Tiba-tiba saja dadaku bergemuruh saat mendengar suara MC yang memberitahu bahwa acara inti akan segera dimulai. Itu tandanya sebentar lagi Jong In akan memakaikan sebuah cincin di jari manis kekasihnya. Dan benar saja. Jong In berdiri di atas sana. Di sebelahnya berdiri seorang gadis berambut panjang bergelombang. Pasti dialah gadis itu kekasih Jong In. Mataku seolah tak bisa berkedip. Tatapanku hanya mengarah pada satu objek. Dan objek itu adalah Jong In. Sosok yang selama ini masih bersarang di hatiku, bahkan sampai saat ini. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya ketika tatapan mata kami bertemu, tepat saat Jong In akan memakaikan cincin pertunangannya di jari manis gadis itu karena aku tak bisa menahan air mataku dan berlari dari sana. Tak peduli pada beberapa orang yang tak sengaja kutabrak. Aku berlari dan terus berlari. Satu hal yang kusadari bahwa aku masih sangat berharap Jong In jadi milikku. Ya Tuhan, apa aku sudah gila?!===================== ______________________________ Pagi ini aku terbangun dengan mata yang bengkak. Lelehan eyeliner yang membekas di pipi dan juga rambut yang sangat berantakan. Tadi malam, aku bahkan tak berpikir sedikitpun untuk membersihkan diri sebelum tidur. Yang kulakukan hanya menangis sepanjang malam. Bahkan saat bel apartemen yang sempat berbunyi beberapakali tak kuhiraukan juga. Aku benar-benar menghabisan waktuku untuk menangis. Segera kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku sengaja meminta izin pada pihak Rumah Sakit untuk tidak bekerja hari ini. Setelah selesai membersihkan diri, aku bergegas membuka pintu lemari es yang berada di dapur karena merasa lapar. Dan seketika itu juga aku terkejut mendapi isinya yang kosong melompong. Tak ada jalan lain selain pergi ke supermarket di depan gedung apartemen. Akupun melangkahkan kakiku menuju pintu. Cklek! Seketika itu juga aku terkejut saat mendapati seseorang ambruk bersamaan dengan terbukanya pintu. Aku refleks melangkah mundur.Aku belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi.Akhirnya kau keluar juga, Lee Hye Jin! Kau tahu berapa lama aku menunggumu di sini sampai tertidur? Dan di sini dingin sekali. Biarkan aku masuk!================ _______________________ Aku tak henti-hentinya memandang sosok yang kini tengah meminum kopi buatanku dangan tatapan heran luar biasa. Mungkin mataku masih terbelalak kaget saat ini. tapi siapa yang paduli dengan hal itu? Yang ada di pikiranku hanyalah satu. Kenapa Jong In bisa ada di depan apartemenku dan tertidur semalaman di sana? Mungkinkah orang yang membunyikan bel apartemen adalah dia?Tuk! Jong In menaruh gelas kopi di atas meja. Sedetik kemudian, dia memandangku seraya tersenyum.Kau tahu berapa lama aku menunggumu di luar sana? Aku membunyikan bel beberapa kali, tapi kau tak membukakan pintu sampai-sampai aku tertidur semalaman karena menunggumu keluar. Ah, rasanya capek sekali.Ke-kenapa kau.. aku ragu. Dan di saat keraguan melandaku, bisa-bisanya Jong In bersikap tenang seolah tak terjadi apa-apa. Sebenarnya ada apa dengannya? Bukankah seharusnya dia bersama tunangannya saat ini?Hye Jin-ah, aku menjatuhkannya.Aku terdiam, tak mengerti maksud dari perkataannya.Aku menjatuhkan cincinnya dan membatalkan pertunanganku.Aku langsung terbelalak kaget. Dia yang semula menunduk mendongak menatapku lekat. seketika itu juga dadaku kembali bergemuruh. Tatapan itu, sama dengan tatapan yang diberikannya dulu. Tatapan itu sama dengan tatapannya padaku tujuh tahun lalu. Hye Jin-ah, aku masih mencintaimu. Aku membatalkannya karena aku mencintaimu. Kau tak memberiku kesempatan untuk bicara saat itu. Dan kau selalu menghindariku. Kukira kau tidak mengharapkanku lagi dan sudah merelakanku. Tapi saat aku melihatmu menangis tadi malam, aku yakin hatimu belum berubah.Ta-tapi bagaimana dengannya? tanyaku tak habis pikir. Gadis itu pasti tengah terluka saat ini.Tidakkah kau bahagia karena aku membatalkan pertunanganku? Kenapa kau menanyakannya?Kim Jong In! Aku tahu bagaimana rasanya ditinggalkan! Tidakkah kau telah bersikap egois karena memilihku?! aku tahu aku mencintainya dan akan terus begitu. Tapi membayangkan orang lain tersakiti hanya karenaku membuatku terlihat seperti orang jahat yang tak berperi kemanusiaan. Seharusnya aku tak mengungkapkan perasaanku malam itu.Hye Jin-ah, tidakkah kau juga berpikir tentangku? Aku sudah lama ingin bersamamu. Jauh sebelum kau punya perasaan itu padaku! Aku tahu ini egois untuk Se Hyun. Tapi apa yang bisa kulakukan kalau aku masih mencintaimu? Tetap bersamanya sama saja dengan membohongi perasaanku sendiri!! kata Jong In penuh penekanan di setiap katanya. Ia terlihat marah. Dan aku menyadari bahwa perkataannya adalah benar. Tak terasa air mataku jatuh. Yang kurasakan selanjutnya adalah dia yang mendekapku. Mendekapku sambil sesekali mencium puncak kepalaku.Aku memang egois Hye Jin-ah. Dan kurasa aku tak akan bahagia jika tak bersamamu. Kita sudah terlalu lama menderita karena hal ini. Mulai sekarang pikirkan saja kebahagiaan kita! ucapnya dengan nada yang lembut.Aku hanya mengangguk di sela tangisanku yang semakin menjadi. Bukan karena masih memikirkan Se Hyun, gadis yang nyaris menjadi tunangan Jong In. Sama sekali bukan. Ini tangis bahagia. Bahagia karena nyatanya Jong In bersamaku saat ini. Kurasa aku salah dalam satu hal. Mencintai Jong In bukanlah hal gila. Mencintainya dan tetap berharap padanya adalah salah satu hal yang indah karena pada akhirnya kami bersama. Dia sangat berarti untukku, dan selamanya akan tetap begitu.

THE EnD_________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar